Tuesday, February 27, 2007

Apakah Sains?

oleh Roby

Biasanya mahasiswa tidak menyukai sebuah mata kuliah dimana dosennya jarang datang. Tapi ada satu maka kuliah di ITB dahulu yang saya sukai meskipun kita hanya bertemu beberapa kali selama satu semester. Mata kualiahnya adalah kosmologi yang di ajarkan Dr. Jorga Ibrahim.

Kuliahnya tetap menarik, karena Pak Jorga memberikan banyak bahan dan karena tidak ada kelas, kita bebas mempelajari aspek kosmologi yang menarik untuk kita.

Masa itu saya cenderung matematis sehingga lebih tertarik mempelajari berbagai metrik yang menjelaskan alam semesta, misalnya Robertson-Walker metric yang mendasari teori big-bang. Saya kurang menaruh perhatian pada aspek kosmologi yang melibatkan pengukuran langsung.
Tapi dari situ saya tahu interaksi teori dan eksperimen dalam usaha manusia memahami alam.

Sains bagi saya adalah teori elegan seperti teori relativitas umum atau teori medan kuantum yang diverifikasi secara empiris dengan presisi tinggi. Bias saya memang ke teori.

Ketika saya masih mahasiswa di Bandung, suatu malam saya tidak bisa tidur karena begitu kagum akan keindahan persamaan Dirac dan saya akhirnya menulis surat (belum ada email di Bandung saat itu) ke teman saya di Jepang dan bercerita tentang persamaan Dirac. Dia adalah teman saya semasa SMA yang saya anggap saat itu sebagai salah satu teman yang bisa menghargai fisika. Bertahun-tahun kemudian dia bercerita bahwa dia kaget menerima surat saya dan dia pikir saya sudah gila.

Tapi saya juga bisa menikmati keindahan eksperimen. Saya merinding ketika membayangkan Penzias dan Wilson menunjukkan penemuan radiasi latar-belakang kosmik yang begitu tepat mengikuti kurva teoritis dalam sebuah pertemuan ilmiah.

Karena itu saya sulit tertarik akan teori sains yang hanya berdasar pada hubungan statistik tanpa teori yang menjelaskan mekanismenya. Contoh yang populer misalnya penjelasan ala Freakonomics. Meskipun buku itu ditulis dengan sangat bagus dan menarik tapi saya jengah terhadap argumennya yang menurut saya dangkal. Argumen bahwa semua bisa dijelaskan dengan insentif adalah naif: insentif uang, misalnya, memiliki efek beda tergantung pada gaji orang tersebut; untuk mengetahui insentif yang tepat perlu terlebih dahulu diketahui struktur relasi individu: saya harus memberi insentif berbeda untuk istri, orang tua, kakak, anak, teman atau orang lain.

Ini bukan berarti saya skeptis terhadap pemodelan statistik, saya justru menggunakannya juga. Saya hanya merasa bahwa pemodelan statistik belum lengkap.

Karena saya sekarang adalah ilmuwan sosial. Saya merasa bukan lagi saatnya mencari sebuah teori besar seperti teori kuantum, relativitas atau evolusi.

Saya percaya ilmu sosial analitik dibangun dengan fokus pada mekanisme. Tapi mekanisme tanpa teori juga menyulitkan. Contohnya adalah sains jaringan yang belum bisa diaplikasikan secara utuh karena belum ada teori jaringan. Dan tentu semuanya harus digandengkan dengan data melalui pemodelan statistik.

Jadi sains ideal itu yang mana?

Apakah sains itu teori elegan ala teori relativitas? Apakah sains adalah hubungan statistik dari data? ataukah sains adalah kumpulan mekanisme seperti teori kompleksitas, fisika zat padat, atau teori jaringan?

Tentu ketiganya saling berhubungan dan penting. Tapi yang saya ingin tahu adalah pendekatan mana yang membawa kita paling dekat ke realitas fundamental?

3 comments:

Tika said...

empiris!

Arya Gaduh said...

Menarik bahwa pertanyaan ini muncul dari seorang pragmatis. Kesan saya (dari baca buku yang terbatas), seorang pragmatis cenderung mempertanyakan ada-tidaknya "realitas fundamental" itu -- bahwa, jangan-jangan, realitas hanyalah sekadar soal seberapa jauh argumentasi meyakinkan audiens tentang makna "realitas" itu sendiri...

Arma said...

sains yang ideal adalah teori-M yang nggak bisa difalsifikasi secara empiris ;DDDD

jangan nanya sains yang ideal dong, karena sains itu tidak idealis tapi realis.

Mestinya nanya siapa saintis yang ideal? Jawabnya saintis yang nggak pake kacamata kuda :)

Halo, kapan selesai doktornya?
Atau udah selesai tapi belum kangen Indonesia yang carut marut itu