Sunday, May 27, 2007

Sudut Orang Tua: Amuk Bocah

oleh Tika

Toby, bocah berumur 3 tahun kami, termasuk anak yang sangat sensitif terhadap perubahan di lingkungannya. Dia sering mengamuk ketika menemukan sedikit perubahan dalam lingkungannya yang tidak bisa ia kontrol atau antsipasi. Sebagai contoh, jika ada yang menyapanya di jalan, Toby langsung menolak mukanya dan cemberut. Jika sapaan terus berlanjut, Toby akan berteriak dan menangis. Menurut mama Toby, ini karena Toby merasa hilang kontrol juga karena ia tidak mengantisipasikan gerak-gerik si penyapa.

Amukan ini tambah parah ketika Toby mulai bergaul dengan orang banyak dalam jarak dekat. Sebelum Toby pindah ke Bandung , Toby lebih sering diam sendiri di rumah bermain bersama mama. Saat di New York City, Toby hanya sesekali pergi bersama mama keluar, seperti pergi berbelanja atau main di taman dll. Ketika Toby harus secara intesif bergaul dengan sanak saudara di Bandung, Toby tidak saja berteriak atau menangis ketika disapa, bahkan saat ini Toby mulai suka memukul!

Kontrol dan ego memang masalah terbesar bocah berumur 1-5 tahun. Untuk mengatasinya, kita berusaha untuk menjelaskan ke Toby bahwa orang yang menyapa itu sedang berusaha berlaku baik terhadap Toby. Jika Toby memukul, kita berusaha menegornya dengan nada tegas untuk "jangan memukul" karena "memukul itu tidak baik". Ternyata setelah beberapa minggu melakukan terapi ini (memang Toby baru memperlihatkan amuk pukulan seperti ini saat kita mulai pindah ke Bandung beberapa minggu yang lalu), amuk Toby tidak saja mereda, bahkan tambah parah.

Ya memang saya pernah membaca bahwa kaum bocah seumur Toby belum bisa memproses informasi berdasarkan logika "jangan karena itu tidak sopan dan membuat orang lain sakit". Ini karena ego bocah umur Toby masih dalam proses dasar penyesuaian dengan lingkungan. Tapi karena kita sering berusaha membuat Toby 'mengerti' dia pun sudah mulai menerima logika seperti ini. Sayangnya, sensitifitas Toby terlalu tinggi jika dihadapi lingkungan "asing" hingga Toby secara otomatis akan berteriak dan memukul orang yang membuatnya frustrasi. Kita pun mulai melakukan terapi "hukuman" jika Toby memukul, seperti dipaksa berhenti bermain dan dibawa ke kamar tidur.

Terapi hukuman membawa masalah ke orang tua Toby terutama karena sanak saudara toby di Indonesia merasa hukuman terhadap bocah sebesar Toby tidak pantas. Menurut standar Indonesia, anak kecil seumur Toby baiknya diberi kebebasan untuk melakukan apa saja selain sesuatu yang mencelakakan nyawanya. Bocah seumur Toby belum bisa dianggap sebagai manusia yang bisa banyak mengerti. Masalahnya, standar ini tidak berlaku di Amerika, setidaknya di banyak sekolah-sekolah New York City. Jika Toby terlihat sering membuat banyak "onar" seperti memukul teman dan guru sekolah tidak bisa membuat Toby berhenti, sekolah akan tidak segan mengeluarkan Toby dari sekolah. Di Amerika, bocah harus di siapkan orang tua untuk bisa berlaku baik dan sopan. Perbedaan standar Indonesia Amerika ini membawa masalah ke orang tua Toby. Orang tua Toby harus memastikan bahwa Toby tidak akan dikeluarkan dari sekolah karena suka mengamuk dan memukul. Jika Toby dikeluarkan oleh sekolah, kemungkinan satu atau kedua orang tua toby harus putus sekolah hingga berakibat lebih banyak orang lain frustrasi pula!

Jadi untuk saat ini, kita tetap melakukan sedikit hukuman ke Toby jika ia kelewat mengamuk dan memukul untuk mempersiapkan Toby mulai sekolah di New York City Hukuman ini berupa ungkapan "marahan" tegas untuk "tidak boleh memukul" dan Toby dibawa keluar dari situasi yang membuatnya frustrasi (seperti membawanya ke ruangan terpisah). Hukuman ini lebih sebagai cara untuk menenangkan Toby. Kita berusaha tetap bersama Toby saat hukuman dilaksanakan untuk menghindari kesan "ditinggalkan". Untuk amukan lain yang tidak melibatkan "Toby memukul", karena kita tidak bisa banyak kontrol situasi yang terdiri dari banyak orang lain, kita sepakati untuk berusaha membawa Toby ke ruangan bebas dari sumber yang membuatnya frustrasi tanpa di "marahi". Kita baru sadari bahwa usaha menjelaskan ke Toby untuk "tidak usah menangis dan mengamuk akibat sesuatu yang sepele" tidak membawa banyak manfaat. Bocah seumur Toby lebih memerlukan dukungan pengasuhnya, bahwa ia bisa mendapat bantuan dan belas kasih sayang pada saat frustrasi. Terapi terbaik memang untuk mencegah amukan terjadi. Sebagai contoh, mama Toby berusaha terus memberi informasi ke Toby mengenai antasipasi gerak-gerik teman-teman yang sedang bermain bersamanya. Dengan mendapatkan informasi ini, Toby terlihat bisa lebih tenang bermain dengan teman-temannya tanpa harus terganggu rasa frustrasi berlebih ketika teman melakukan sesuatu tidak sesuai dengan kemauan Toby!

Ya semoga usaha kita ini bisa membuahkan hasil saat Toby harus balik ke New York City nanti!

1 comment:

Yuti Ariani said...

Wah, mba tika pasti udah pengalaman menghadapi perbedaan kultur karena sering pindah-pindah negara. Saya ingat waktu pertama kali kembali ke Indonesia, setelah 4 tahun tinggal di Belanda, saat itu saya baru kelas1 SD, saya menangis ke ortu minta balik, karena ngga betah di Indonesia(panas banget).

Met ngasuh Toby, welcome to Bandung