oleh Tika
Semenjak menginjak kaki di New York City, saya jadi banyak mengenal orang-orang penganut aliran 'Vegan'. Saya baru mengenal istilah ini setelah tinggal di New York City. Dahulu kala, saya pikir dunia hanya terbagi atas orang-orang seperti saya vs. orang pemakan sayur-mayur (Vegetarian). Ternyata dunia lebih kompleks dari ini dan ada orang-orang di dunia ini yang menganut aliran anti produk apapun yang terbuat dari binatang. Inilah kelompok orang-orang Vegan. Selain anti dengan produk binatang, mereka berusaha hidup gaya minimalis. Vegan adalah suatu filosofi dan gaya hidup.
Saya istilahkan sebagai "gaya minimalis" untuk menjelaskan filosofi hidup mereka yang hanya menggunakan apa yang telah disediakan di alam se-minimal mungkin. Berusaha mencintai sesama mahluk hidup. Berusaha memperlihatkan aura ketenangan dalam interaksi sesama manusia. Kebanyakan Vegan tidak menganut aliran agama lain, dan banyak diantara mereka yang "Ateis", walau teman saya yang Vegan percaya pada Tuhan dan memiliki latar belakang agama Katolik.
Ternyata setelah 6 tahun tinggal di New York City saya mulai ketularan ingin mengikuti gaya hidup kelompok Vegan. Ini terjadi terutama setelah beberapa kali mencicipi jenis makanan ala Vegan, juga karena dokter telah menvonis bahwa bocah 3 tahun kami kemungkinan memiliki kadar kolesterol tinggi dalam test darah terakhir. Ini memaksakan saya untuk memodifikasi menu makan sehari-hari dirumah.
Menyantap makanan Vegan sebagai alternatif memang menjadi lebih mudah daripada harus menyusun menu sendiri karena jenis makan seperti ini dapat dengan mudah saya temukan di berbagai pelosok toko makanan dan supermarkat-supermarket di New York City. Ternyata makanan Vegan yang isinya biji-bjijian sebagai alternatif protein binatang dan sayur-mayur cukup nikmat, sedikit mengingatkan saya kepada makanan Sunda yang sungguh saya sukai. Dengan menyantap protein alternatif ini bersamaan dengan kadar sayur-mayur yang tinggi, saya dapat dengan mudah menurunkan kadar kolesterol dalam diet keluarga. Selain nikmat, setelah menyantap jenis makanan ini tubuh terasa lebih "tenang". Saya bisa melakukan aktifitas sehari-hari dengan otak yang lebih jernih dan gerakan fisik yang lebih "gesit" dari sebelumnya.
Ya memang gaya hidup Vegan sungguh menarik bagi saya. Mungkin jika memang saya akhirnya menetap di New York City saya akan berubah menjadi seorang Vegan? Perhatikan bahwa gaya hidup ini tidak banyak ditemukan selain di kota-kota besar di Amerika. Di kota-kota kecil Amerika, yang dikenal dengan istilah "Suburbia", justru yang terjadi adalah sebaliknya: lebih banyak orang hidup bergaya konsumtif tinggi, termasuk perihal diet, dan memang gaya konsumtif seperti ini lebih umum dilabel sebagai gaya hidup ala "Amerika", terutama oleh mereka yang tidak pernah tinggal di Amerika.
Tapi memang sulit bagi saya untuk menjadi Vegan penuh karena saya seorang Muslim yang seharusnya menerima produk binatang dalam makanan dan materi hidup sehari-hari sebagai sesuatu rezeki Allah yang harus dimanfaatkan. Ya mungkin saja, seperti yang sering terjadi di New York City, perbenturan budaya yang terjadi dalam diri saya akan melahirkan metamorfosis kultur baru ala Amerika.
Memang gaya hidup Vegan memerlukan teknologi dan kreatifitas yang cukup tinggi. Seoarang Vegan diharapkan untuk selalu mencari alternatif selain produk binatang untuk melakukan kompleksitas aktifitas yang kita ketahui sebagai kehidupan "modern". Sebagai pemerhati awam evolusi kebudayaan, menurut saya, Vegan tidak akan mungkin lahir sebagai suatu gaya hidup tanpa adanya pengalaman konsumtif kehidupan modern. Sebagai ilustrasi, sepertinya tidak mungkin seseorang yang tinggal di suatu desa di Jawa berubah menjadi seoarang Vegan karena Ia tidak pernah terpaksa untuk memikirkan dan mengalami akibat dari kultur hidup "modern".
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
saya mau tanya, apa hubungan antara vegan dengan global warming? terima kasih
Post a Comment