oleh Tika
Konon suatu malam di New York City, saya terbangun dan menyalakan TV stasiun MTV. Ya memang saya sudah tua dan semestinya merubahkan saluran ke stasiun musik para jompo di Amrik bernama VH1. Salah saya sendiri.
Saat itu ditayangkan acara bernama "Yo Momma". Remaja daerah kumuh New York City di kumpulkan berdasarkan "suku daerah" untuk bertarung satu sama lainnya demi membela harkat dan martabat sang "momma" alias ibu. Memang bagi para remaja ini, ibu adalah simbol dari segalanya.
Untuk membela momma tersayang, tiap suku mencalonkan seorang wakil untuk adu tutur bahasa dengan wakil dari suku lainnya. Adu tutur bahasa ini berupa pencorengan harkat dan martabat momma para lawan lewat media berbalas pantun bahasa khas daerah kumuh New York City. Kekalahan terjadi jika seorang wakil tidak bisa lagi membalas caci-maki lawan mengenai sang momma tercinta. Contoh:
Wakil 1: "yo momma's so fat, people jog around her for excercise (Ibu mu gemuk sekali, akibatnya orang suka berolah-raga lari mengelilinginya )".
(note: kegemaran orang2 daerah kumuh new york city adalah untuk adu banding kadar minyak di tubuh/rambut seseorang alias ke-"greasy"-an seseorang)
wakil 2: "yo momma's so greasy Texaco buys oil from her (Ibumu berminyak sekali, Texaco saja beli oli darinya).
(note: kadang untuk mencoreng momma, status ekonomi pun menjadi sasaran, maklum, momma kebanyakan para remaja ini adalah satu-satunya tulang punggung perekonomian keluarga tanpa bapa)
wakil 1: "yo yo .. your house is so run down, only the paint is keeping it up (rumahmu buruk sekali, tanpa ada cat tebal itu, pasti rumahmu akan runtuh).
dst. dst.
Usai acara, para lawan saling berpeluk dan menepuk punggung sebagai tanda rasa hormat kepada sesama anak momma.
Konon suatu malam di Bandung, saya nyalakan TV ke stasiun MTV dan apa yang saya temukan?
"Yo yo yo ..." dst dst.
Waaa... bagaimana nasib cucu penerus bangsa Indonesia kita ini jika tutur bahasa MTVers digunakan sebagai contoh? Konon, MTV adalah stasiun favorit ponakan-ponakan ABG saya.
Yo yo yo!
Sunday, May 27, 2007
Sudut Orang Tua: Amuk Bocah
oleh Tika
Toby, bocah berumur 3 tahun kami, termasuk anak yang sangat sensitif terhadap perubahan di lingkungannya. Dia sering mengamuk ketika menemukan sedikit perubahan dalam lingkungannya yang tidak bisa ia kontrol atau antsipasi. Sebagai contoh, jika ada yang menyapanya di jalan, Toby langsung menolak mukanya dan cemberut. Jika sapaan terus berlanjut, Toby akan berteriak dan menangis. Menurut mama Toby, ini karena Toby merasa hilang kontrol juga karena ia tidak mengantisipasikan gerak-gerik si penyapa.
Amukan ini tambah parah ketika Toby mulai bergaul dengan orang banyak dalam jarak dekat. Sebelum Toby pindah ke Bandung , Toby lebih sering diam sendiri di rumah bermain bersama mama. Saat di New York City, Toby hanya sesekali pergi bersama mama keluar, seperti pergi berbelanja atau main di taman dll. Ketika Toby harus secara intesif bergaul dengan sanak saudara di Bandung, Toby tidak saja berteriak atau menangis ketika disapa, bahkan saat ini Toby mulai suka memukul!
Kontrol dan ego memang masalah terbesar bocah berumur 1-5 tahun. Untuk mengatasinya, kita berusaha untuk menjelaskan ke Toby bahwa orang yang menyapa itu sedang berusaha berlaku baik terhadap Toby. Jika Toby memukul, kita berusaha menegornya dengan nada tegas untuk "jangan memukul" karena "memukul itu tidak baik". Ternyata setelah beberapa minggu melakukan terapi ini (memang Toby baru memperlihatkan amuk pukulan seperti ini saat kita mulai pindah ke Bandung beberapa minggu yang lalu), amuk Toby tidak saja mereda, bahkan tambah parah.
Ya memang saya pernah membaca bahwa kaum bocah seumur Toby belum bisa memproses informasi berdasarkan logika "jangan karena itu tidak sopan dan membuat orang lain sakit". Ini karena ego bocah umur Toby masih dalam proses dasar penyesuaian dengan lingkungan. Tapi karena kita sering berusaha membuat Toby 'mengerti' dia pun sudah mulai menerima logika seperti ini. Sayangnya, sensitifitas Toby terlalu tinggi jika dihadapi lingkungan "asing" hingga Toby secara otomatis akan berteriak dan memukul orang yang membuatnya frustrasi. Kita pun mulai melakukan terapi "hukuman" jika Toby memukul, seperti dipaksa berhenti bermain dan dibawa ke kamar tidur.
Terapi hukuman membawa masalah ke orang tua Toby terutama karena sanak saudara toby di Indonesia merasa hukuman terhadap bocah sebesar Toby tidak pantas. Menurut standar Indonesia, anak kecil seumur Toby baiknya diberi kebebasan untuk melakukan apa saja selain sesuatu yang mencelakakan nyawanya. Bocah seumur Toby belum bisa dianggap sebagai manusia yang bisa banyak mengerti. Masalahnya, standar ini tidak berlaku di Amerika, setidaknya di banyak sekolah-sekolah New York City. Jika Toby terlihat sering membuat banyak "onar" seperti memukul teman dan guru sekolah tidak bisa membuat Toby berhenti, sekolah akan tidak segan mengeluarkan Toby dari sekolah. Di Amerika, bocah harus di siapkan orang tua untuk bisa berlaku baik dan sopan. Perbedaan standar Indonesia Amerika ini membawa masalah ke orang tua Toby. Orang tua Toby harus memastikan bahwa Toby tidak akan dikeluarkan dari sekolah karena suka mengamuk dan memukul. Jika Toby dikeluarkan oleh sekolah, kemungkinan satu atau kedua orang tua toby harus putus sekolah hingga berakibat lebih banyak orang lain frustrasi pula!
Jadi untuk saat ini, kita tetap melakukan sedikit hukuman ke Toby jika ia kelewat mengamuk dan memukul untuk mempersiapkan Toby mulai sekolah di New York City Hukuman ini berupa ungkapan "marahan" tegas untuk "tidak boleh memukul" dan Toby dibawa keluar dari situasi yang membuatnya frustrasi (seperti membawanya ke ruangan terpisah). Hukuman ini lebih sebagai cara untuk menenangkan Toby. Kita berusaha tetap bersama Toby saat hukuman dilaksanakan untuk menghindari kesan "ditinggalkan". Untuk amukan lain yang tidak melibatkan "Toby memukul", karena kita tidak bisa banyak kontrol situasi yang terdiri dari banyak orang lain, kita sepakati untuk berusaha membawa Toby ke ruangan bebas dari sumber yang membuatnya frustrasi tanpa di "marahi". Kita baru sadari bahwa usaha menjelaskan ke Toby untuk "tidak usah menangis dan mengamuk akibat sesuatu yang sepele" tidak membawa banyak manfaat. Bocah seumur Toby lebih memerlukan dukungan pengasuhnya, bahwa ia bisa mendapat bantuan dan belas kasih sayang pada saat frustrasi. Terapi terbaik memang untuk mencegah amukan terjadi. Sebagai contoh, mama Toby berusaha terus memberi informasi ke Toby mengenai antasipasi gerak-gerik teman-teman yang sedang bermain bersamanya. Dengan mendapatkan informasi ini, Toby terlihat bisa lebih tenang bermain dengan teman-temannya tanpa harus terganggu rasa frustrasi berlebih ketika teman melakukan sesuatu tidak sesuai dengan kemauan Toby!
Ya semoga usaha kita ini bisa membuahkan hasil saat Toby harus balik ke New York City nanti!
Toby, bocah berumur 3 tahun kami, termasuk anak yang sangat sensitif terhadap perubahan di lingkungannya. Dia sering mengamuk ketika menemukan sedikit perubahan dalam lingkungannya yang tidak bisa ia kontrol atau antsipasi. Sebagai contoh, jika ada yang menyapanya di jalan, Toby langsung menolak mukanya dan cemberut. Jika sapaan terus berlanjut, Toby akan berteriak dan menangis. Menurut mama Toby, ini karena Toby merasa hilang kontrol juga karena ia tidak mengantisipasikan gerak-gerik si penyapa.
Amukan ini tambah parah ketika Toby mulai bergaul dengan orang banyak dalam jarak dekat. Sebelum Toby pindah ke Bandung , Toby lebih sering diam sendiri di rumah bermain bersama mama. Saat di New York City, Toby hanya sesekali pergi bersama mama keluar, seperti pergi berbelanja atau main di taman dll. Ketika Toby harus secara intesif bergaul dengan sanak saudara di Bandung, Toby tidak saja berteriak atau menangis ketika disapa, bahkan saat ini Toby mulai suka memukul!
Kontrol dan ego memang masalah terbesar bocah berumur 1-5 tahun. Untuk mengatasinya, kita berusaha untuk menjelaskan ke Toby bahwa orang yang menyapa itu sedang berusaha berlaku baik terhadap Toby. Jika Toby memukul, kita berusaha menegornya dengan nada tegas untuk "jangan memukul" karena "memukul itu tidak baik". Ternyata setelah beberapa minggu melakukan terapi ini (memang Toby baru memperlihatkan amuk pukulan seperti ini saat kita mulai pindah ke Bandung beberapa minggu yang lalu), amuk Toby tidak saja mereda, bahkan tambah parah.
Ya memang saya pernah membaca bahwa kaum bocah seumur Toby belum bisa memproses informasi berdasarkan logika "jangan karena itu tidak sopan dan membuat orang lain sakit". Ini karena ego bocah umur Toby masih dalam proses dasar penyesuaian dengan lingkungan. Tapi karena kita sering berusaha membuat Toby 'mengerti' dia pun sudah mulai menerima logika seperti ini. Sayangnya, sensitifitas Toby terlalu tinggi jika dihadapi lingkungan "asing" hingga Toby secara otomatis akan berteriak dan memukul orang yang membuatnya frustrasi. Kita pun mulai melakukan terapi "hukuman" jika Toby memukul, seperti dipaksa berhenti bermain dan dibawa ke kamar tidur.
Terapi hukuman membawa masalah ke orang tua Toby terutama karena sanak saudara toby di Indonesia merasa hukuman terhadap bocah sebesar Toby tidak pantas. Menurut standar Indonesia, anak kecil seumur Toby baiknya diberi kebebasan untuk melakukan apa saja selain sesuatu yang mencelakakan nyawanya. Bocah seumur Toby belum bisa dianggap sebagai manusia yang bisa banyak mengerti. Masalahnya, standar ini tidak berlaku di Amerika, setidaknya di banyak sekolah-sekolah New York City. Jika Toby terlihat sering membuat banyak "onar" seperti memukul teman dan guru sekolah tidak bisa membuat Toby berhenti, sekolah akan tidak segan mengeluarkan Toby dari sekolah. Di Amerika, bocah harus di siapkan orang tua untuk bisa berlaku baik dan sopan. Perbedaan standar Indonesia Amerika ini membawa masalah ke orang tua Toby. Orang tua Toby harus memastikan bahwa Toby tidak akan dikeluarkan dari sekolah karena suka mengamuk dan memukul. Jika Toby dikeluarkan oleh sekolah, kemungkinan satu atau kedua orang tua toby harus putus sekolah hingga berakibat lebih banyak orang lain frustrasi pula!
Jadi untuk saat ini, kita tetap melakukan sedikit hukuman ke Toby jika ia kelewat mengamuk dan memukul untuk mempersiapkan Toby mulai sekolah di New York City Hukuman ini berupa ungkapan "marahan" tegas untuk "tidak boleh memukul" dan Toby dibawa keluar dari situasi yang membuatnya frustrasi (seperti membawanya ke ruangan terpisah). Hukuman ini lebih sebagai cara untuk menenangkan Toby. Kita berusaha tetap bersama Toby saat hukuman dilaksanakan untuk menghindari kesan "ditinggalkan". Untuk amukan lain yang tidak melibatkan "Toby memukul", karena kita tidak bisa banyak kontrol situasi yang terdiri dari banyak orang lain, kita sepakati untuk berusaha membawa Toby ke ruangan bebas dari sumber yang membuatnya frustrasi tanpa di "marahi". Kita baru sadari bahwa usaha menjelaskan ke Toby untuk "tidak usah menangis dan mengamuk akibat sesuatu yang sepele" tidak membawa banyak manfaat. Bocah seumur Toby lebih memerlukan dukungan pengasuhnya, bahwa ia bisa mendapat bantuan dan belas kasih sayang pada saat frustrasi. Terapi terbaik memang untuk mencegah amukan terjadi. Sebagai contoh, mama Toby berusaha terus memberi informasi ke Toby mengenai antasipasi gerak-gerik teman-teman yang sedang bermain bersamanya. Dengan mendapatkan informasi ini, Toby terlihat bisa lebih tenang bermain dengan teman-temannya tanpa harus terganggu rasa frustrasi berlebih ketika teman melakukan sesuatu tidak sesuai dengan kemauan Toby!
Ya semoga usaha kita ini bisa membuahkan hasil saat Toby harus balik ke New York City nanti!
Monday, May 21, 2007
The Indonesian Trip: Spiderman vs. Mertua Jahat Menantu Malang
oleh Tika
Untuk melalui waktu senggang di Bandung akhir-akhir ini, saya suka sekali menonton film dan TV. Ternyata bermanfaat banyak juga buat saya. Dengan menonton film hollywood terbaru "Spiderman III" di bioskop Blitzmegaplex Bandung, juga seri Hidayah di TV stasiun RCTI berjudul "Mertua Jahat Menantu Malang", saya dapati pemahaman baru mengenai perbedaan konsep baik vs. jahat ala Amerika (Spiderman III) vs Indonesia (Mertua Jahat Menantu Malang).
Berdasarkan pengamatan amat sederhana ini, saya dapati kesimpulan sbb:
Di Indonesia, manusia terbagi atas dua macam jenis, baik atau jahat, garisnya jelas. Orang jahat berlaku jahat karena dia jahat. Orang baik akan selalu berlaku baik karena dia baik. Orang baik bisa tergoda untuk berlaku jahat karena ada dorongan luar dari orang yang benar2 jahat. Orang jahat selalu sadar akan status kejahatannya tapi tidak mau berubah hingga akhirnya tertimpa musibah. Setelah musibah menimpa hanya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi: si jahat mati atau si jahat sadar dan berubah menjadi baik.
Di Amerika, manusia sama semua. Tiap manusia memiliki kemungkinan untuk berlaku baik atau jahat, garisnya tidak jelas. Dorongan untuk menjadi jahat atau baik berada dalam diri sendiri. Tiap orang bisa tergoda untuk menjadi jahat karena merasa kurang puas dengan apa yang dimiliki dalam dirinya. Orang jahat tidak pernah sadar akan status kejahatannya. Hanya setelah dihadapi dengan suatu pilihan mendesak yang menyangkut sesuatu yang sangat dicintai (misalnya, wanita, karir), baru mereka sadar dan akhirnya memilih untuk selanjutnya terus menjadi orang jahat atau tidak.
Yang menarik di sini adalah sumber sifat baik/jahat manusia Indonesia vs. Amerika. Di Indonesia, sumber ini selalu berasal dari luar diri manusia, baik godaan untuk menjadi jahat atau dorongan untuk berubah menjadi orang baik. Di amerika, sumber selalu berasal dari dalam diri manusia sendiri, bukan dari luar. Alhasil, di Indonesia, perubahan penting dalam diri manusia hanya dapat terjadi jika lingkungan berubah hingga akhirnya manusia menurut dan mau berubah demi kebaikan, sementara di Amerika, perubahan penting hanya dapat terjadi jika diri tiap-tiap manusia mau memilih untuk merubah lingkungannya.
Di Indonesia, manusia adalah konsumen perubahan, di Amerika, manusia adalah agen perubahan.
Subscribe to:
Posts (Atom)