Showing posts with label Dunia. Show all posts
Showing posts with label Dunia. Show all posts

Tuesday, February 13, 2007

Soal Paten Penyakit


oleh Roby

Baru-baru ini, Indonesia dipojokkan karena dianggap mengambil langkah kontroversial dengan menghentikan kerja-sama dengan WHO dalam hal analisis virus flu burung (blog Indonesia lain yang sudah membahasnya adalah Indonesia's Economy Blog - Sarapan Ekonomi dan ini).

Langkah yang dianggap kontroversial adalah Indonesia memilih menjual virus flu burung tersebut ke sebuah perusahaan Amerika dibanding mengirimkannya ke pusat studi WHO.

Sepintas, keputusan ini menjadi satu dari sekian banyak kebodohan Indonesia yang patut dikecam. Flu burung mengancam dunia dan sudah sepantasnya data mengenai virus tersebut disebarluaskan secara bebas.

Tetapi sebetulnya langkah Indonesia ini hanyalah satu ilustrasi dari masalah yang lebih umum tentang pemakaian paten dalam riset kesehatan.

Indonesia pantas kesal terhadap WHO karena data virus yang dikirim ke WHO ada yang dipakai dan lalu dipatenkan oleh perusahaan-perusahaan pembuat obat dan vaksin. Sungguh konyol jika virus asal Indonesia tersebut dipatenkan oleh perusahaan asing yang lalu menjual obatnya dengan harga yang tak terjangkau oleh Indonesia. Selain harga yang tak terjangkau, sangat mungkin Indonesia tidak akan kebagian jatah vaksin karena negara kaya dan negara pemilik perusahaan tersebut akan memperoleh vaksin terlebih dahulu.

Dengan menjual virus ke perusahaan Amerika tersebut, Indonesia dipastikan memiliki akses yang cepat dengan harga terjangkau untuk vaksin jika saja pandemi terjadi. Jadinya ini hal yang rasional dilakukan Indonesia.

Meskipun demikian, media massa barat membuat seolah-olah ini adalah perilaku buruk Indonesia yang patut dikecam; virus tidak berhak dimiliki oleh sebuah negara.

Menurut saya, yang patut dikecam adalah tidak adanya sistem yang adil dalam mengatur soal hak paten dalam bidang kesehatan. Indonesia hanyalah salah satu korban dari permainan ini.
Jangankan virus, dalam sistem sekarang, gen manusia pun dapat dimiliki oleh sebuah perusahaan.

Akibat perusahaan memiliki hak paten terhadap sebuah gen, misalnya, harga untuk pendeteksian kanker payudara menjadi tiga kali lipat lebih mahal. Data genome untuk hepatitis C dikuasai oleh sebuah perusahaan sehingga peneliti yang ingin melakukan penelitian hepatitis C harus membayar mahal; sehingga tidak heran para ilmuwan memilih meneliti penyakit yang tidak harus membayar mahal (sampai sekarang belum ada vaksin untuk hepatitis C dan biaya terapinya sangat mahal Rp.2juta untuk satu kali suntik, dan perlu disuntik kira-kira setiap minggu selama kurang lebih 6 bulan sampai satu tahun - di Indonesia penyakit ini cukup banyak).

Sekarang ini, tidak kurang dari 20 patogen penyebab penyakit manusia hak patennya dimiliki oleh perusahaan komersil.

Inilah sulitnya menjadi negara lemah dan miskin. Bertindak demi kepentingan rakyat sendiri dituduh sebagai kepicikan tiada terkira. Padalah negara-negara yang menuduh itu melakukan hal yang sama atau malah lebih jahat, kemunafikan yang tiada terkira.

UPDATE: Sebuah opini di kompas membahas hal yang sama.

ilustrasi: virus H5N1 (http://buzz.smm.org/buzz/media/images/H5N1.preview.jpg)

Sunday, February 11, 2007

Bumi Memanas, Katak Tenggelam Dalam Tempurungnya

oleh Tika

Panel International Perubahan Iklim (IPCC), yang terdiri dari sekitar 600 ilmuwan dunia dan 113 wakil pemimpin dunia, menerbitkan pernyataan bahwa bumi akan terus memanas jika manusia tidak cepat merubah gaya hidupnya. Perusakan lingkungan hidup, gaya hidup konsumtif yang mengakibatkan emisi gas rumah kaca berlebih, adalah sebab dari "pemanasan global" ini. Bahwa pemanasan global bersumber pada ulah manusia memiliki probabilitas lebih dari 90% menurut IPCC.

Lapisan gas rumah kaca pada atmosfer bumi berfungsi untuk menghangatkan bumi. Tanpa lapisan gas ini, bumi akan 33 °C lebih dingin, kehidupan tidak dapat terjadi. Pemanasan global terjadi akibat penebalan lapisan gas rumah kaca pada atmosfer bumi. Sebagian besar gas rumah kaca yang terakumulasi secara berlebih berupa karbon dioksida yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak dan batu bara).



Dalam kondisi "normal", sinar matahari yang menembus atmosfer bumi sebagian akan diserap bumi untuk menghangatkannya, sebagian akan memantul kembali keluar angkasa. Emisi gas rumah kaca yang berlebih menyebabkan sinar matahari yang semestinya memantul terperangkap di bawah lapisan gas yang menebal, bumi pun kian memanas.

Laju rata-rata pemanasan bumi sekitar 0.2 °C per dekade. Dalam skenario terburuknya, bumi akan memanas 2.4-6.4 °C selepas abad-21. Data satelit menunjukkan bahwa sejak dekade 1990-an, ketinggian permukaan laut telah meningkat 3.3 mm per tahun. Penelitian terakhir memperkirakan bahwa ketinggian permukaan laut akan mencapai 1.4 m pada 2100.

Jakarta Banjir? Mengingat 40 % dari wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut, dalam 100 tahun, Jakarta tidak hanya akan mengalami banjir. Jika laju pemanasan global tidak berubah, Jakarta mungkin salah satu kota yang akan lenyap dari permukaan bumi. Sedikitnya 25 % wilayah Jakarta atau sekira 160,37 km2 akan tenggelam pada 2050. Indonesia diperkirakan akan kehilangan sekitar 2,000 pulau pada 2030.



Merubah gaya hidup manusia saat ini menjadi suatu pilihan antara hidup dan mati. Selain kerja keras antar para ilmuwan untuk mencari solusi terbaik untuk mengatasi kondisi pelik ini, perubahan praktis tidak dapat terjadi tanpa kerja sama dan komitmen para pemimpin dunia, terutama mereka yang memegang andil besar dalam kontribusi emisi berlebih gas rumah kaca di muka bumi. Saat ini, negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia adalah Amerika Serikat. Hingga saat ini, dunia masih menunggu komitmen para pemimpin di negara adikuasa ini untuk bersikap.

Menurut mantan wakil presiden Al Gore, kebanyakan warga Amerika Serikat yang berkuasa saat ini, yang semestinya mampu bertindak, menganggap pastinya kontribusi manusia pada fenomena pemanasan global kurang layak untuk diperlakukan sebagai kebenaran karena bertentangan dengan agenda mereka yang berkepentingan: suatu "Inconvenient Truth".

Dalam film dokumenter yang berjudul sama, Al Gore membuat analogi katak dalam cangkir air yang sedang memanas. Seperti sang katak, manusia merasa cukup nyaman dan hanya duduk diam walau suhu air terasa memanas. Ketika air mencapai titik didih, katak tidak dapat bergerak lagi, menunggu detik-detik menuju ajalnya atau adanya tangan yang dapat mengangkatnya keluar. Apa yang akan dilakukan manusia jika air di dalam cangkirnya mencapai titik didih?

Sumber Pustaka:
1. http://www.nature.com/news/infocus/climatechange.html
2. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/09/0101.htm
3. http://www.stopglobalwarming.org/sgw_feature.asp?id=11
4. http://www.wwf.or.id/attachments/pdf/Q&AClimate.pdf

**Ilustrasi didapatkan dari: http://www.ucsusa.org/assets/images/global_warming/ghouse_effect.jpg dan http://www.suarapublik.org/images/Pict2_1.jpg