Tuesday, December 18, 2007
Indonesia Modern: Kartini & STA
Bagaimana saya memperoleh inspirasi dari Kartini dan STA.
"STA seakan-akan memastikan bahwa masa depan bukanlah milik Maria yang romantis dan
manis, tapi kepunyaan Tuti yang rasional dan ingin mencapai sesuatu."
Link relevan:
http://www.korantempo.com/news/2002/8/2/Budaya/1.html
"STA seakan-akan memastikan bahwa masa depan bukanlah milik Maria yang romantis dan
manis, tapi kepunyaan Tuti yang rasional dan ingin mencapai sesuatu."
Thursday, December 13, 2007
Malingsia: Very Patriotic Indonesian
I am a very patriotic Indonesian. When I was little, I practiced marching up and down those steps leading to flagpole minutes after August 17th flag raising ceremonies ended at our little Indonesian Embassy, as all the 'adults' came inside to feast on the day's prepared meals. I joined the PASKIBRA team during highschool when I was actually physically in Indonesia, having to endure many tortures prior to being initated into the group. I memorized all that history about why/how/who of our red and white flag, those UUD '45 pasal-s, all those natioanlistic songs. I knew how to march using the bamboo while only being let to eat a bite of 'singkong' all day long and constant fear of being dipped in mud or sewage water. I relinquished trips to malls during weekends just to get that march down. I knew how to march in straight line and turn in an actual group, with my eyes closed! Yep, I knew how to march.
So I am very patriotic, perhaps because I grew up in very secluded part of Indonesia where they only speak of good things about being Indonesian, a.k.a. the Indonesian diplomatic corps -- I didn't really have anything bad to say about being Indonesian. Even now, whenever I pick up three year old in New York City pre-school, I listen to this very patriotic Indonesian song, when no one else around me probably don't even know we as a people exist. So I dare anyone else who can be more patriotic than I am. I love Indonesia.
But I must say that I am very disappointed in Indonesians nowadays. We keep on picking at the wrong fights that seem to getting us nowhere. We just like to walk on the same spot I think. For instance, why do we pick on what Malaysians should and should not put as part of their tourism propaganda? Is this all what Indonesia is all about? I confess that there are more stuff I can grieve about, but let's just stick to this as one of the most popular thing going on right now.
I remember the time when I would introduce myself as Indonesian and people think that it is some remote area in Bali. I don't blame them. Back then, as the Indonesian diplomatic corps, we are made to tell people about the nice food we have to eat there, those traditional dances, those costumes that we don't really wear anymore except during marriages and such, but we say this is our Indonesia. Oh but some of the food we do eat in real life. But after the Tsunami, we are really popular as being a tragedy ridden nation filled with poor defenseless people, perhaps a smiling terrorist or two. So now we like to get back to being thought of as that remote part of Bali, or at least a Bali-like place, as it is after all a 'better image' of Indonesia?
Our Indonesia is much more than this to me. Much more that those dances I never learned to do, those elaborate costumes I never get to wear, those flavorful dishes. It is about a people who fought to become a free and proud country -- with their blood.
So I don't worry so much about what Malyasian's put in their tourism propaganda since I know Indonesia is much more than these superficial assets we call 'ours'. It is something that can never be taken away by anyone, no matter how many rendang's end up on a Malaysian Restaurant menu. It is what our forefather's have fought for us, the pride and the freedoms they gave us through their sacrifice. Something very much worth the fight. It is up to us to continue this struggle.
My father was Consulate General of Kota Kinabalu when the great TKI tragedy was developing in Malaysia. I remember I was able to go and have peaceful day and get my passport renewed in the Embassy there, while tons of Indonesians, men women children came pouring in looking for shelter, not much peaceful on their front. There are plenty of horror stories to go around. My dad got angry one time an 'Indonesian embasy staff' refused help to a man who was obviously hurt and beaten, as there was no room to take him in at the embassy. My father straightenedd that 'staff' out. So yes, there are plenty problems that we must try to sift through when it comes to our 'relations' with our closest neighbour. But we must be wise enough to pick fights that are worth our while.
*** additional replies to this post here.
More opinions here and here.
Monday, August 20, 2007
Antri Dong?
Ketika anda sedang antri dan tiba-tiba seseorang menyerobot masuk antrian hingga mendahului anda, apa yang anda lakukan? Apa pendapat anda mengenai sang 'penyerobot'?
Bagi mereka yang terbiasa dengan budaya antri, mungkin mereka akan berpikir bahwa sang penyerobot memiliki etika kuno dan tabiat tidak santun yang sebaiknya diperbaiki dengan kesadarannya untuk antri.
Tentu asumsi dasar disni adalah antri sebagai norma umum budaya Indonesia, atau antri sebagai norma universal umat manusia: apa benar?
Menurut 'ilmuwan antri' Richard Larson dari Massachusetts Institute of Technology, antri adalah suatu teknologi yang terbentuk seiring dengan terbatasnya sumber daya alam manusia.
Larson tercengang saat melihat bagaimana para korban Tsunami bersedia menunggu hingga 6 jam lamanya, tanpa rusuh, untuk mendapatkan satu botol air minum dengan tidak antri. Teknologi yang digunakan disini adalah suatu sistem pelayanan acak dimana sifat pelayanan tidak berdasarkan suatu urutan tertentu. Kasarnya: siapa yang terlayani, ia yang dapat.
Contoh kasus para korban Tsunami menunjukkan bahwa teknologi antri bukan sesuatu yang 'universal'. Konteks sosial budaya masyarakat memegang peran penting dalam perkembangan teknologi manusia.
Dalam kasus korban Tsunami di Indonesia, sistem pelayanan acak cukup efisien dan fungsional dalam memproses alokasi sumber daya yang terbatas. Para korban Tsunami tidak harus antri untuk mendapatkan air minum secara damai dan tenang.
Sebaliknya di Amerika, tercatat berbagai kasus agresifitas terjadi antar warga Amerika yang sedang antri. Larson menyebutkan satu kasus dimana seorang ibu menggunakan pisau untuk mencabik putus hidung seorang pelanggar baris antrian. Baik sang ibu mapun sang penyerobot akhirnya tidak juga berhasil mendapatkan apa yang mereka 'antrikan'.
Sedikitnya 3 tahun umur hidup seorang warga Amerika biasa dihabiskan untuk antri. Kurangnya efisiensi sistem antri tentu sangat berkontribusi dalam memperpanjang waktu barisan antrian. Teknologi antri perlu selalu dimodifikasi seiring dengan perubahan konteks budaya dan kompleksitas kehidupan sosial di Amerika.
Tentu, mereka yang terbiasa dengan budaya antri akan sangat sulit untuk menerima sistem pelayanan acak ala Indonesia. Mungkin dengan memposisikan antri sebagai suatu teknologi non-universal yang tergantung kepada suatu konteks budaya sosial, suatu saat nanti, kita semua bisa mendapati pengalaman antri yang lebih menyenangkan!
Friday, June 15, 2007
Perjalanan ke Indonesia: Individu (tidak) penting
Setelah lebih dari satu bulan berada di Indonesia, saya sudah mulai beradaptasi dan merasa nyaman tinggal di Bandung. Salah satu kegiatan yang saya nikmati adalah menonton TV lokal, dan membaca koran dan majalah. Menurut survei, sekitar 70% penduduk Indonesia menonton TV paling sedikit sekali setiap minggu. Jadi dengan banyak menonton TV lokal, sedikit banyak bisa mendapat gambaran kehidupan di Indonesia (meskipun tayangan TV didominasi kehidupan Jakarta, bukan Indonesia secara kesuluruhan).
Ada satu observasi menarik mengenai cara berpikir yang umum saya temui: perilaku negatif dari manusia dianggap berasal dari sebuah kategori. Misalnya, malas, tidak mengantri, suka gratisan, tidak jujur dianggap karakteristik "Bangsa Indonesia". Seksualitas dianggap sebagai "Budaya Barat" (tidak penting ketika baju kebaya tradisional menerawang dan cerita tradisional yang penuh seksualitas).
Yang saya permasalahkan disini adalah bukan benar tidaknya suatu karakterisasi. Tapi karakterisasi melalui kategori kolektif. Individu dianggap tidak penting. Wajar jika orang miskin mencuri, wajar jika orang Indonesia tidak mau mengantri, wajar jika orang Indonesia malas dan sebagainya. Individu hilang ditelan label atau kategori kolektif ("Bangsa Indonesia", "Budaya Indonesia", "Orang Jawa", "Orang Sunda"). Sebetulnya kategorisasi kolektif ini umum terjadi termasuk di Amerika; contoh paling nyata antipati pada setiap berjanggut dan memakai sorban di Amerika.
Disini ada perbedaan antara persepsi kita tentang perilaku orang. Kita sering menganggap perilaku orang disebabkan oleh kategori kolektif. Padahal ketika kita bertindak jarang dimotivasi oleh satu ide abstrak yang berasal dari kategori kolektif. Misal, karena saya orang Indonesia maka saya tak harus mengantri. Saya percaya orang cenderung pragmatis, mengambil keputusan berdasar situasi dan preferensi saat itu. Saya mengantri agar fair dan mengurangi kemungkinan konflik saat itu.
Yang berbuat baik atau buruk adalah individu, bukan kategori kolektif. Individu adalah agen kausalitas: individu yang menyebabkan sesuatu terjadi.
Titik berat pada individu ini bertentangan dengan semangat riset saya sendiri yang cenderung menafikan peran individu daripada struktur. Individu tidak bisa berbuat sekehendak hatinya, tetapi dibatasi oleh relasi yang ada antara dia dengan orang lain dan lingkungannya. Meskipun struktur ini sering pula memberikan peluang baru untuk bertindak, bukan hanya membatasi.
Dalam bahasa akademis, ilmu yang cocok untuk di Indonesia adalah ekonomi karena ia mementingkan individu; bukan sosiologi yang mementingkan struktur. Ini jika kita ingin melakukan perubahan (saya percaya bahwa kita berusaha ke kanan jika kita cenderung ke kiri dan sebaliknya; agar kita tetap di tengah).
Di Amerika saya sangat kritis terhadap ilmu ekonomi yang berlebihan menggunakan konsep insentif. Segalanya dijelaskan dengan insentif sehingga konsep insentif menjadi tautologi: terjadi karena ada insentif, dan ada insentif karena terjadi.
Di Indonesia saya cenderung menggunakan pola pikir ekonomi: individu lah yang bergerak merespons insentif.
Saya jadi ingat teman saya yang menyelesaikan doktor di bidang studi sains. Ia adalah pengkritik sains. Tapi ketika di Indonesia ia menjadi advokat sains karena di Indonesia sains tidak relevan dalam proses pengambilan keputusan. Jadi dia harus membangun sains dulu agar dia bisa melakukan pekerjaannya mengkritik sains setelah itu.
Mirip dengan saya, di Indonesia saya ingin para ekonom lebih menyebarluaskan konsep kebebasan individu. Setelah konsep itu diterima luas, maka baru saya bisa masuk memperlihatkan bahwa individu itu tidak terlalu bebas (tentu konstrain adalah konsep fundamental di ekonomi, tapi ekonom cenderung menganggapnya sebagai kotak hitam; dan tentu ada juga ekonom yang membongkar kotak itu meskipun kebanyakan lebih suka membiarkannya).
Tantangannya adalah, bagaimana menunjukkan bahwa individu tidak terlalu penting kepada masyarakat yang memang sudah percaya bahwa individu tak penting tanpa menjadi membosankan sehingga tidak selalu ditanggapi "oh itu sih udah jelas".
Monday, May 21, 2007
The Indonesian Trip: Spiderman vs. Mertua Jahat Menantu Malang
oleh Tika
Untuk melalui waktu senggang di Bandung akhir-akhir ini, saya suka sekali menonton film dan TV. Ternyata bermanfaat banyak juga buat saya. Dengan menonton film hollywood terbaru "Spiderman III" di bioskop Blitzmegaplex Bandung, juga seri Hidayah di TV stasiun RCTI berjudul "Mertua Jahat Menantu Malang", saya dapati pemahaman baru mengenai perbedaan konsep baik vs. jahat ala Amerika (Spiderman III) vs Indonesia (Mertua Jahat Menantu Malang).
Berdasarkan pengamatan amat sederhana ini, saya dapati kesimpulan sbb:
Di Indonesia, manusia terbagi atas dua macam jenis, baik atau jahat, garisnya jelas. Orang jahat berlaku jahat karena dia jahat. Orang baik akan selalu berlaku baik karena dia baik. Orang baik bisa tergoda untuk berlaku jahat karena ada dorongan luar dari orang yang benar2 jahat. Orang jahat selalu sadar akan status kejahatannya tapi tidak mau berubah hingga akhirnya tertimpa musibah. Setelah musibah menimpa hanya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi: si jahat mati atau si jahat sadar dan berubah menjadi baik.
Di Amerika, manusia sama semua. Tiap manusia memiliki kemungkinan untuk berlaku baik atau jahat, garisnya tidak jelas. Dorongan untuk menjadi jahat atau baik berada dalam diri sendiri. Tiap orang bisa tergoda untuk menjadi jahat karena merasa kurang puas dengan apa yang dimiliki dalam dirinya. Orang jahat tidak pernah sadar akan status kejahatannya. Hanya setelah dihadapi dengan suatu pilihan mendesak yang menyangkut sesuatu yang sangat dicintai (misalnya, wanita, karir), baru mereka sadar dan akhirnya memilih untuk selanjutnya terus menjadi orang jahat atau tidak.
Yang menarik di sini adalah sumber sifat baik/jahat manusia Indonesia vs. Amerika. Di Indonesia, sumber ini selalu berasal dari luar diri manusia, baik godaan untuk menjadi jahat atau dorongan untuk berubah menjadi orang baik. Di amerika, sumber selalu berasal dari dalam diri manusia sendiri, bukan dari luar. Alhasil, di Indonesia, perubahan penting dalam diri manusia hanya dapat terjadi jika lingkungan berubah hingga akhirnya manusia menurut dan mau berubah demi kebaikan, sementara di Amerika, perubahan penting hanya dapat terjadi jika diri tiap-tiap manusia mau memilih untuk merubah lingkungannya.
Di Indonesia, manusia adalah konsumen perubahan, di Amerika, manusia adalah agen perubahan.
Wednesday, March 14, 2007
Pak Tino Sidin Berkata "Bagus"

oleh Tika
Beberapa minggu yang lalu, ibu, ayah dan sepupu saya datang ke Amerika mengunjungi kami. Selain bingkisan makanan kering dan satu kantong beras merah, mereka datang membawa setumpuk vcd film-film Indonesia. Kami tontoni film-film ini tiap malam semenjak kedatangan mereka.
Satu masalah film Indonesia menurut saya adalah efek dramatisasi yang berlebih. Saya rasakan ini paling banyak terjadi di film-film 'kelas atas' seperti karya Garin Nugroho dsb. Akibatnya film terasa sintetik dan 'dibuat-buat' atau tidak 'natural'.
Film terlihat bagus hanya sebatas fungsi dekoratif demi menyesuaikan diri kepada suatu definisi paten 'film yang bagus'.
Ya menurut saya memang ini masalah orang Indonesia. Bukti empiris yang bisa saya gunakan untuk mencapai kesimpulan ini hanya didasari atas pengalaman diri saya sendiri.
Jaman dahulu kala, saya pernah bercita-cita menjadi seorang seniman. Tugas pertama saya di satu kelas melukis semasa kuliah adalah membuat karya bebas diatas kanvas dengan menggunakan cat minyak. Di kepala saya langsung melayang-layang impian saya mengenai nenek moyang dan negara Indonesia tercinta. Saat itu memang saya sedang kuliah di Amerika dan sudah sangat rindu dengan tanah air. Bukankah masuk akal bahwa perasaan paling mendalam dalam diri saya harus merujuk kepada segala sesuatu berbau Indonesia? Bukankah suatu karya seni 'baik' terdefinisikan sebagai suatu ungkapan kejujuran isi hati ini?
Dengan semangat sang pelukis sejati, saya tumpahkan perasaan rindu ini ke atas kanvas. Rencana saya adalah untuk membuat suatu lukisan mosaic abstrak dengan menggunakan simbol-simbol ke-Indonesiaan seperti garuda, wayang, merah putih dsb. Lukisan sedang dalam proses penyelesaian, dosen lukis saya melihatnya dan langsung membahasnya di depan kelas. "Anak-anak, ini adalah contoh jenis lukisan yang tidak ingin anda buat. Lukisan 'bagus' secara teknis, tapi perhatikan bagaimana simbol-simbol ini disusun dengan sangat direncanakan hingga membuat lukisan tidak natural dan dibuat-buat. Ada baiknya pelukis ini menutup lukisan ini dengan cat putih dan mulai dari awal lagi."
Ya, hancur sudah semangat membara saya. Saya pun mengikuti saran sang dosen untuk menutup lukisan saya dan saya hadapi kanvas putih saya itu dengan perasaan terpukul. Setelah itu saya sadar bahwa salah satu kesulitan yang saya hadapi dalam membuat suatu karya seni adalah untuk membebaskan diri dari apa yang seharusnya saya rasakan dan mulai merasakan apa saja tanpa adanya suatu keharusan. Kesulitan seorang Indonesia menurut saya adalah untuk merasakan kejujuran isi hati karena sebagai orang Indonesia, kami terdidik untuk menutupinya dan menggantikannya dengan suatu definisi umum mengenai apa yang seharusnya dirasakan.
Tentu, saya tidak membandingkan diri saya dengan mereka yang sudah terdidik dan bergelut bertahun-tahun di bidang seni seperti Garin Nugroho dsb. Tapi saya bisa bayangkan betapa sulitnya seorang Indonesia membuat suatu karya seni jujur apa adanya sementara kultur Indonesia sudah memiliki hak paten isi hati seorang manusia Indonesia.
Seperti kata Pak Tino Sidin setiap sore pada acara belajar menggambarnya di TVRI , "bagus.. bagus ... ".
Tuesday, March 13, 2007
Saya bisa bahasa inggris, saya cerdas, saya cinta damai ... bla bla bla
Ya, akhirnya saya bisa mengerti mengapa banyak orang merasa terganggu dengan gaya selebritis Indonesia yang suka memakai bahasa inggris campur aduk dengan bahasa gaul Jakarta. Karena terlalu banyak pekerjaan hingga saya akhirnya tidak bekerja dan malah mem-browse YouTube, saya menemukan posting film pendek bintang Lux Mariana Renata berjudul "Match Maker" dan "Match Maker II". Saya harus menggunakan YouTube karena semenjak 7 tahun yang lalu, saya sudah tidak tinggal di Indonesia lagi.
Konon, berdasarkan film seri DTK, yang saya pernah tontoni sedikit ketika berkunjung ke Indonesia tahun lalu, Mariana Renata ini tergolong selebritis langka yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi (Saya akui, film DTK juga sedikit tapi lebih banyak lagi mengganggu saya).
Tapi kenapa ya saya merasa sangat terganggu dengan film Lux ini apalagi dengan sdr Mariana Renata ini? Dia cantik, saya tidak masalah, bahkan jika mampu saya ingin sekali berparas jelita sepertinya. Tapi kenapa ketika sdr. Mariana mulai berbicara campur aduk saya jadi kesal rasanya? Apalagi dengan menggunakan intonasi "was wes wos" nan-canggihnya-itu?
Saya juga kesal ketika:
1. Mariana menolak kantong plastik yang diawarkan pelayan toko atas alasan "save the planet" dan setelah itu pergi tersenyum dan menjadi sangat perhatian saat melewati seorang anak kecil.
2. Mariana masuk ke toko dan yang di shoot adalah sendal dan baju ala "hippie" super trendi.
3. Buku yang dipesan Mariana bertema sosiologi pop itu seharga Rp 120,000.
4. Buku itu ternyata karangan Jurnalis Malcolm Gladwell yang konon pernah mencuri ide Peneliti dan Prof. Sosiologi pembimbing riset suami saya (*perhatikan poin ini mungkin agak berlebih personal).
5. Mariana menggunakan laptop Mac.
6. Ternyata diakhir film, cowo ganteng, pintar dan pemilik toko buku import itu gay.
Jangan banyak salahkan sdr. Mariana, salahkan penulis script film ini. Ah, saya memang kurang kerjaan saja. Biarkan mereka nikmati laptop Mac mereka dan buku-buku ratusan ribu rupiah mereka sembari menikmati latte di cafe chic Jakarta dan berbicara campur aduk melalui hp trendi mereka, toh saya sendiri melakukannya!
Kecuali memiliki teman gay, yang sepertinya untuk Jakarta saat ini menjadi suatu atribut cukup chic, juga paras yang nan cantiknya sdr Mariana, semua indentitas yang dipaparkan dalam karakter Mariana saya suka lakukan lepas sadar saya, ya termasuk kadang menggunakan baju gaya hippie dan bicara campur aduk bahkan menggunakan laptop Mac -- walau dalam hal berbicara, saya rasa saya sudah cukup menahan diri untuk tidak melakukannya dengan cara berpikir sebelum berbahasa karena saya tahu saya bukan pembicara bahasa apapun yang baik.
Saya terganggu karena ternyata bagian dari individualitas diri saya ini dijadikan gaya pasang tempel manusia Jakarta. Di Jakarta, setidaknya warga kosmopolitan Jakarta, manusia bukanlah Individu, tapi suatu entitas pasang tempel yang berubah tergantung musim. Jika kita menghampiri berbagai mal di Jakarta di suatu musim dimana gaya trendi wanita masa itu adalah untuk berbusana dengan menggunakan tas berbulu, pastinya hampir semua wanita di mal Jakarta akan bepergian dengan tas berbulu ini (note referensi gaya hidup Jakarta ini yang tergolong cukup kuno). Memang hidup di dunia kosmopolitan Jakarta itu membuat hidup orang menjadi serba salah.
Wednesday, March 7, 2007
Manusia Super Di Amerika
Orang-orang Amerika memang manusia super. Mereka dapat menjadi manusia super bukan karena mereka diturunkan untuk menjadi orang-orang super, tapi karena kondisi hidup mereka membuat mereka 'terpaksa' untuk menjadi super.
Individualitas versi Amerika terdefinisikan atas suatu kemampuan tiap manusia untuk dapat berdiri sendiri. Di gedung apartemen saya banyak orang-orang tua jompo yang hidup sendirian. Melihat ini orang Indonesia mungkin akan bertanya, "Apakah mereka tidak punya anak atau apakah memang anak-anak mereka tidak peduli lagi?
Ya, kebanyakan orang-orang jompo ini mungkin punya anak yang mungkin ingin sekali membantu mereka. Tapi sebagian besar orang jompo di Amerika memang memilih untuk hidup sendiri karena mereka ingin tetap dihargai sebagai seorang manusia yang dapat berdiri sendiri. Untuk menghargai kemauan mereka ini, banyak fasilitas tersedia yang dibuat khusus untuk mendukung para jompo agar dapat hidup sendiri di rumah mereka sendiri, sebisa mungkin hingga akhir hayatnya.
Kehidupan para jompo adalah ilustrasi drastis mengenai tabiat kesuperan para warga yang hidup di Amerika. Saat ini saya sedang mengalami dorongan lingkungan yang mengharuskan saya untuk menjadi manusia super. Terus terang, saya menjadi serba kesulitan karena dengan didikan saya sebagai orang kelas menengah di Indonesia, saya menjadi sangat tidak 'biasa'.
Kebanyakan warga Amerika tidak mampu untuk menyewa seorang mba atau mbo untuk mengurus anak mereka yang masih belum beranjak umur untuk memasuki taman kanak-kanak. Usia balita hingga sebelum taman kanak-kanak memang masa yang paling sulit bagi orang tua yang status perekonomiannya sangat marginal.
Sekolah taman kanak-kanak hingga SMU bebas biaya dan anak hampir bisa penuh hari diam di sekolah sementara ibu ayah bekerja. Sebelum masa ini, orang tua seperti ini akan dihadapi berbagai kesulitan. Jika mereka beruntung, bisa saja mereka menitipkan anak mereka di suatu tempat penitipan dengan biaya tidak terlalu mahal walau kualitas mungkin tidak menjanjikan. Kebanyakan warga Amerika harus melalukan ini karena mereka tidak punya pilihan lain. Kedua orang tua harus bekerja untuk dapat mehidupkan keluarga. Sementara filosofi individualitas ala Amerika mengharuskan mereka untuk sebisa mungkin tidak meminta bantuan sanak saudara untuk mengatasi kesulitan mereka ini.
Anehnya, warga Amerika bisa tetap selamat menghadapi masa kritis ini atas upaya kedua tangan mereka sendiri. Tentu kesuksesan ini tidak dapat terjadi tanpa adanya dukungan lingkungan yang menjunjung tinggi nilai individualitas ala Amerika. Sebagai contoh, fasilitas untuk mempermudah dan mempercepat usaha seorang ibu bersama dengan bapa dan anak-anaknya membersihkan lantai, menyuci baju, memasak dsb. beraneka ragamnya, walau tetap memberi kesan bahwa pekerjaan adalah buah hasil usaha kedua tangan mereka sendiri.
Ya saya sangat kagum dengan orang-orang Amerika seperti ini. Terus terang saya sendiri merasa tidak mampu dan harus menelepon ibu saya di Indonesia untuk mengirimkan seorang mba untuk membantu mengurus anak saya. Setelah mba pergi, saya tidak tahan sekali lagi untuk menelepon ibu agar bisa datang mengurus anak saya sementara saya dan suami membanting tulang meniti karir demi masa depan kehidupan keluarga. Ternyata, karena hal-hal diluar kendali, ibu saya tidak juga mampu memberi bantuan seperti yang saya harapkan, dan saat ini saya harus menerima untuk terus bertahan hidup layaknya manusia super di Amerika.
Semoga saya bisa tertularkan tabiat individualitas ala Amerika hingga saya dapat melewati masa-masa kritis ini. Saya baru sadar, bentuk doa orang Amerika ketika dihadapi suatu masalah bukanlah suatu permintaan ketabahan dari Illahi karena doa seperti ini tidaklah cukup. Doa orang Amerika adalah untuk dapat terus berusaha menggunakan kedua tangan mereka sendiri agar dapat dihargai hidup layaknya seorang manusia.
Tuesday, February 27, 2007
Apakah Sains?
Biasanya mahasiswa tidak menyukai sebuah mata kuliah dimana dosennya jarang datang. Tapi ada satu maka kuliah di ITB dahulu yang saya sukai meskipun kita hanya bertemu beberapa kali selama satu semester. Mata kualiahnya adalah kosmologi yang di ajarkan Dr. Jorga Ibrahim.
Kuliahnya tetap menarik, karena Pak Jorga memberikan banyak bahan dan karena tidak ada kelas, kita bebas mempelajari aspek kosmologi yang menarik untuk kita.
Masa itu saya cenderung matematis sehingga lebih tertarik mempelajari berbagai metrik yang menjelaskan alam semesta, misalnya Robertson-Walker metric yang mendasari teori big-bang. Saya kurang menaruh perhatian pada aspek kosmologi yang melibatkan pengukuran langsung.
Tapi dari situ saya tahu interaksi teori dan eksperimen dalam usaha manusia memahami alam.
Sains bagi saya adalah teori elegan seperti teori relativitas umum atau teori medan kuantum yang diverifikasi secara empiris dengan presisi tinggi. Bias saya memang ke teori.
Ketika saya masih mahasiswa di Bandung, suatu malam saya tidak bisa tidur karena begitu kagum akan keindahan persamaan Dirac dan saya akhirnya menulis surat (belum ada email di Bandung saat itu) ke teman saya di Jepang dan bercerita tentang persamaan Dirac. Dia adalah teman saya semasa SMA yang saya anggap saat itu sebagai salah satu teman yang bisa menghargai fisika. Bertahun-tahun kemudian dia bercerita bahwa dia kaget menerima surat saya dan dia pikir saya sudah gila.
Tapi saya juga bisa menikmati keindahan eksperimen. Saya merinding ketika membayangkan Penzias dan Wilson menunjukkan penemuan radiasi latar-belakang kosmik yang begitu tepat mengikuti kurva teoritis dalam sebuah pertemuan ilmiah.
Karena itu saya sulit tertarik akan teori sains yang hanya berdasar pada hubungan statistik tanpa teori yang menjelaskan mekanismenya. Contoh yang populer misalnya penjelasan ala Freakonomics. Meskipun buku itu ditulis dengan sangat bagus dan menarik tapi saya jengah terhadap argumennya yang menurut saya dangkal. Argumen bahwa semua bisa dijelaskan dengan insentif adalah naif: insentif uang, misalnya, memiliki efek beda tergantung pada gaji orang tersebut; untuk mengetahui insentif yang tepat perlu terlebih dahulu diketahui struktur relasi individu: saya harus memberi insentif berbeda untuk istri, orang tua, kakak, anak, teman atau orang lain.
Ini bukan berarti saya skeptis terhadap pemodelan statistik, saya justru menggunakannya juga. Saya hanya merasa bahwa pemodelan statistik belum lengkap.
Karena saya sekarang adalah ilmuwan sosial. Saya merasa bukan lagi saatnya mencari sebuah teori besar seperti teori kuantum, relativitas atau evolusi.
Saya percaya ilmu sosial analitik dibangun dengan fokus pada mekanisme. Tapi mekanisme tanpa teori juga menyulitkan. Contohnya adalah sains jaringan yang belum bisa diaplikasikan secara utuh karena belum ada teori jaringan. Dan tentu semuanya harus digandengkan dengan data melalui pemodelan statistik.
Jadi sains ideal itu yang mana?
Apakah sains itu teori elegan ala teori relativitas? Apakah sains adalah hubungan statistik dari data? ataukah sains adalah kumpulan mekanisme seperti teori kompleksitas, fisika zat padat, atau teori jaringan?
Tentu ketiganya saling berhubungan dan penting. Tapi yang saya ingin tahu adalah pendekatan mana yang membawa kita paling dekat ke realitas fundamental?
Wednesday, February 21, 2007
Peradaban pura-pura?
Seorang kawan pernah mengatakan bagaimana dia sudah bosan tinggal di New York dan ingin segera pulang ke Indonesia. Saya tanya alasannya mengapa, dia jawab karena dia bosan berpura-pura. Dia mencontohkan bagaimana muaknya melihat kawan sekantornya yang mengatakan bahwa sesuatu great padahal dia membencinya.
Saya pikir memang ada benarnya apa yang dikatakan kawan itu. Sepertinya semakin maju sebuah peradaban semakin pintar orangnya untuk berpura-pura.
Lalu saya tidak pernah memikirkannya lagi. Juga kawan saya itu tidak jadi pulang ke Indonesia karena dia jatuh cinta dengan Yoga dan katanya dia hanya akan pulang ketika dia sudah menjadi instruktur Yoga (dia yoga 6 kali seminggu).
Di rumah saya sekarang, selain dipenuhi buku-buku tentang William James, pragmatisme dan sejarah Amerika juga dipenuhi semua buku mengenai Kartini yang ada di perpustakaan kampus saya.
Saya sedang tertarik melihat bagaimana Kartini berinteraksi dengan peradaban barat dan implikasinya. Banyak apa yang saya pikirkan sekarang sudah dituliskan oleh Kartini seratus tahun yang lalu.
Dan ini salah satu contohnya:
Berkali-kali kami menyaksikan adegan cium-ciuman yang memuakkan antara orang-orang yang kami tahu benar saling membenci. Yang berbuat demikian itu bukan 'nona-nona Indo' yang selalu dipandang rendah oleh kaum totok, melainkan nyonya-nyonya totok itu sendiri, yang katanya 'beradab' dan 'berpendidikan tinggi'. Kadang-kadang kami tanya pada diri sendiri: apakah peradaban itu? Apakah itu ....kemahiran untuk main pura-pura? Untuk bertingkah laku munafik?
Tentunya kita bisa membalikkannya dengan menunjukkan orang jawa justru sering dianggap doyan berpura-pura. Ini bukan soal ilmiah yang harus diputuskan benar atau salah; saya melihatnya sebagai ekspresi pengalaman.
PS: ada satu kesamaan antara Kartini dan William James: keduanya rajin sekali menulis surat. Keduanya rajin membanjiri kerabatnya dengan surat. Jika saja saat itu sudah ada blog, saya yakin blog Kartini dan William James sangat aktif dan menarik dibaca.
Monday, February 19, 2007
Kartini dan mahasiswa salon

oleh Roby
Saya terhentak membaca tulisan kawan ini
...Kita sudah terlalu lama dipaksakan versi yang itu-itu saja. Akibatnya ketimbang menempatkan Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita yang sewajarnya, bahkan ironis (walau pikiran-pikirannya jauh ke depan, dia tetap bertindak layaknya wanita di jamannya), bangsa Indonesia sudah terlanjut mengkultuskan sosok ini
Ketika saya masih memikirkan kenapa merasa terhentak, kawan lain menuliskan ini:
...merasa sebagai mahasiswa ’salon’ tidak berguna.
Lagi-lagi saya merasa sedikit terhentak.
Kenapa?
Ada dua hal.
Pertama, karena Kartini adalah pahlawan bagi tipe orang seperti saya: orang yang bekerja dalam bidang ide. Sebetulnya untuk Kartini, sosok dia lebih besar daripada pejuang ide. Dia juga membangun sekolah dan ingat dia melakukan semua ini di usia muda awal 20an (umur segitu, saya lebih banyak bengong daripada memikirkan hal serius). Kartini bukan hanya pejuang perempuan, tapi dia adalah pejuang intelektual.
Saya merasa sebagai penerus Kartini: percaya bahwa individualisme (bukan egoisme) adalah hal yang kurang di Indonesia. Saya juga setuju dengan Kartini bahwa pendidikan adalah jalur pemupukan individualisme ini. Pendapat saya juga sama dengan Kartini bahwa terlalu sulit untuk menyebarkan ide ini ke lapisan sosial bawah sehingga pendidikannya lebih terfokus untuk para elit bangsawan; karena juga mereka lah yang banyak menentukan opini luas. Perdebatan intelektual lebih sering terjadi di level elit.
Kedua, karena saya termasuk mahasiswa salon. Saya suka berbicara mengenai ide abstrak dan teoritis. Saya tidak terampil dengan tangan; jika ada yang rusak di rumah, istri saya yang membetulkannya, juga dia yang merakit lemari atau kursi. Waktu mahasiswa, saya ikut2an berdemo reformasi dan lari tunggang langgang ketika ada tentara mengarahkan senapannya ke arah saya (sejak itu saya merasa ilmu sosial lebih penting daripada fisika). Saya tidak memperjuangkan orang miskin atau tertindas - meskipun tentu sebagai manusia saya memiliki empati untuk itu.
Intinya adalah saya ingin mengatakan bahwa mereka yang bergerak di bidang teori pun perlu tempat. Jangan disepelekan karena dianggap tidak berjuang secara riil (seperti Kartini yang dibandingkan dengan Cut Nya Dien atau Dewi Sartika) atau disebut dengan ungkapan sinis seperti 'mahasiswa salon'.
Bukan berarti saya terlalu menganggap serius diri saya. Saya tidak merasa intelektualisme adalah sesuatu yang spesial. Jika bisa memilih antara intelek dan wajah tampan, saya akan memilih wajah tampan. Karena intelek biasanya hanya membuat orang kesal karena dianggap nyeleneh. Sedangkan wajah tampan mampu membuat orang senang; tidak ada kepuasan yang melebih dari membuat orang lain senang.
Lagipula, saya bukan seorang intelek yang spesial. Saya tidak pernah menjadi juara kelas atau meraih prestasi/penghargaan dalam bidang apapun (oh, pernah juara 3 perlombaan band antar kelas se SMA). Sewaktu SMP saya rangking 30an dan semasa SMA rangking belasan dan saya lulus dari ITB dengan IPK dibawah 3. Saya melamar menjadi dosen ITB dan ditolak. Maka itu saya pergi ke New York, dan saya beruntung Columbia mau menerima saya.
Intinya, ada kekuatan yang lebih besar dari manusia. Jimi Hendrix mengatakan dia tidak berusaha menulis musik genius, dia hanya merasa harus mengeluarkan bunyi-bunyian yang ada di kepalanya. Setiap orang mengikuti bunyi drum yang dia dengar. Tapi ingat juga kata Marx: Men make their own history, but they do not make it as they please. Jadi fakta bahwa Kartini tetap menikahi Joyodiningrat bukanlah ekspresi kelemahan. Manusia juga manusia.
Wednesday, February 14, 2007
Gaya Baca Buku
oleh Roby
Poltak membahas bagaimana dia gila buku dan bisa membaca cepat sehingga dia sekarang memiliki target untuk menghabiskan satu buku per minggu. Dia juga membedakan antara membaca dan memiliki buku, menurut dia
memiliki buku itu gampang -- tetapi membacanya sampai habis, itu soal lain...
Setiap orang tentu punya gaya masing-masing (saya nggak tau gaya si gila buku satu lagi ini apa), dan gaya saya membaca buku adalah begini. Oh ya, ini hanya berlaku untuk buku yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.
Saya tidak merasa harus membaca buku sampai habis. Yang paling penting buat saya adalah apa yang saya peroleh dari buku itu. Kadang dari satu buku, hanya satu kalimat yang memberikan kenikmatan tiada terkira. Jadi yang saya cari adalah kenikmatan itu. Kenikmatan ketika ide membentuk reaksi berantai di kepala.
Saya jarang merasa senang ketika berkata "saya sudah membaca buku itu sampai habis". Saya lebih senang ketika mencomot ide dari satu paragraf dan menceritakannya kenapa ide itu menarik.
Maka itu saya cenderung memiliki banyak buku. Malah saya baru menemukan salah satu kunci kebahagiaan: bacalah 10 buku sekaligus saat bersamaan. Kebahagiaan adalah terlepas dari kebosanan. Karena ada 10 buku yang sedang dibaca maka dijamin kita tidak pernah merasa bosan. Ambil satu buku dan ambil terus sampai ada ide menarik yang menyerap perhatian kita sehingga membuat kita semangat kembali.
Jadi saya tidak melihat buku sebagai tugas dimana harus dibaca habis. Buku adalah seperti TV; kita tidak pernah menonton semua acara TV tapi dia selalu ada jika kita ingin menonton. Jadi semakin banyak buku yang belum terbaca habis berserakan di rumah kita, semakin banyak pilihan kita, dan semakin tinggi probabilitasnya untuk menemukan ide menarik. Dan menemukan ide menarik adalah salah satu puncak kebahagiaan.
ilustrasi: koleksi pribadi.
Thursday, February 8, 2007
Individu dan Kelompok
Mungkin karena tipe kepribadian atau pekerjaan, saya cenderung jarang berkenalan dengan orang baru. Saya selalu merasa tidak nyaman jika harus memperkenalkan diri ke seseorang. Saya menganggap berkenalan sebagai mengganggu orang, maka saya tidak mau mengganggu orang dengan mengenalkan diri sendiri.
Tapi tentunya berkenalan menjadi bagian hidup yang tak bisa saya hindari. Sejujurnya, saya suka memiliki kenalan baru; yang saya tidak suka adalah awal proses berkenalan karena saya sering tidak tahu harus berbuat apa.
Dari pengalaman pribadi, saya merasakan orang Indonesian dan Amerika memiliki gaya berkenalan yang berbeda. Sebagai pertanyaan pembuka percakapan, orang Indonesia cenderung bertanya daerah asal; bisa kota atau suku asal. Sedangkan orang Amerika (atau orang Indonesia yang tinggal di Amerika) cenderung memulai dengan menanyakan apa yang saya kerjakan.
Ini setidaknya memberikan ilustrasi mengenai perbedaan penilaian seorang individu menurut budaya Indonesia dan Amerika. Yang penting bagi orang Indonesia adalah asal-usul seseorang (ontologis). Disini ada asumsi implisit bahwa seorang individu tidak bisa lepas dari karakter tempat atau suku dimana dia dilahirkan. Nilai individu tidak bisa lepas dari nilai kelompok.
Sebaliknya, Amerika lebih peduli tentang apa yang seseorang perbuat atau kerjakan (pragmatis). Asal-usul seseorang tidak terlalu penting, karena orang Amerika percaya bahwa justru tugas individu untuk menemukan jati-dirinya yang sering berarti lepas dari tempat asalnya.
Tentu teori ini tidak berlaku untuk menerangkan kasus spesifik. Bush menjadi presiden bukan karena apa yang dia kerjakan tapi lebih karena dia keturunan keluarga terpandang. Sebaliknya, Suharto tetap bisa berkuasa meskipun dia adalah anak petani.
Saya hanya mengulang konsep umum bahwa budaya barat yang individualis dan timur yang kolektif juga terekspresikan, secara sadar atau tidak, dalam cara berkenalan.
Tugas Ibu

Tugas ibu itu apa sih? Apa kriteria untuk menjadi ibu yang baik? Bangun lebih pagi dari semua? Siapkan sarapan pagi? Cuci baju anak-anak dan suami? Apa?
Ibu saya tidak pernah menyiapkan sarapan pagi setiap hari, hanya jika beliau merasa sedang ingin melakukannya. Ibu saya lebih suka mencuci baju kita, walaupun ini juga tidak dilakukan beliau setiap hari karena memang selalu ada "pembantu" yang sebenarnya melakukan tugas ini. Bersih-bersih rumah? Sama sekali bukan kegemaran beliau. Apakah ini berarti ibu saya bukan ibu yang baik?
Walau Ibu saya tidak memiliki pekerjaan diluar rumah, alias ibu saya adalah seoarang ibu rumah tangga, Ibu saya memiliki individualitas yang cukup tinggi. Ibu saya bukan seseoarang yang suka bergaul diluar rumah. Ibu saya bisa berhari-hari diam di rumah, bukan karena ibu saya suka mengurus rumah, tapi karena ibu saya memang lebih suka diam dirumah. Sepertinya, ibu saya tidak akan merasa bahagia jika beliau bekerja di luar rumah.
Ibu saya adalah seoarang ibu yang tinggal dirumah bukan karena beliau gemar mengurus rumah. Kegemaran ibu saya adalah diam dikamar dan membaca. Apakah ini berarti ibu saya melalaikan tugasnya sebagai seoarang ibu?
Walau ibu saya bukan yang menyediakan makan atau terlihat menyapu ruangan, memandikan dan mencuci baju kami setiap harinya, saya tidak pernah merasa kelaparan, tubuh dan rumah kami selalu bersih dan baju-baju kami selalu siap pakai. Kita semua tumbuh menjadi anak-anak yang sehat. Semua ini memang berkat usaha para pembantu, tentu atas dasar bimbingan ibu saya, pemimpin keluarga kami di rumah.
Lalu apa yang ibu saya lakukan secara "langsung" untuk kami, anak-anaknya? Dari ibu, saya mengenal rasanya menjadi anak yang bahagia, disayangi dan terlindungi. Saya dapat merasakan ini karena ibu saya selalu ada jika saya memerlukan bantuannya dan perhatiannya. Ibu saya bukanlah tipe ibu yang lembut seperti dalam dongeng anak-anak. Ibu saya orang yang cukup ketus dan praktis. Dengan caranya sendiri, beliau telah berhasil mendidik saya juga kakak-kakak dan adik saya menjadi orang dewasa yang kuat menghadapi kompleksitas kehidupan. Ibu saya berhasil mendidik kami dan menyayangi kami, walau tanpa harus menyuapi kami makan atau memandikan kami tiap harinya di masa kanak-kanak.
Kadang saya merasa kaget bahwa ternyata ibu saya kadang lebih mengenal saya dari diri saya sendiri. Itu adalah bukti perhatian besar ibu saya terhadap saya.
Kata ibu saya, jadi seorang ibu rumah tangga sangat berat karena apapun yang kita lakukan, tidak ada penghargaan sebanding dengan seseoarang yang memiliki karir diluar rumah.
Dengan ibu saya sebagai contoh figur seorang ibu, definisi saya sebagai tugas seorang ibu yang baik bukanlah didasari atas suatu pekerjaan yang dapat dengan mudah di "wakili" oleh seorang pembantu, bahkan seoarang ayah. Ibu memiliki tempat khusus di hati setiap anaknya. Tugas seoarang ibu adalah untuk memupuk rasa cinta ini di hati sang anak hingga kelak dewasa nanti, sang anak dapat menyumbangkannya kembali ke generasi selanjutnya.
Ibu saya bukanlah seorang ibu yang terluput dari kesalahan layaknya seorang manusia. Tapi dengan caranya sendiri, beliau berusaha untuk memberi kita kesayangan yang hanya dapat hadir berkat usahanya untuk menjadi seorang ibu yang baik. Terima kasih ibu.
** Ilustrasi didapatkan dari situs http://artfiles.art.com/images/-/Makiko/Mother-Bears-Love-I-Print-C10286305.jpeg
Monday, February 5, 2007
Toby Masuk Harvard University: Petualangan Sekolah Para Bocah
oleh Tika
Toby, satu-satunya bocah kami yang baru saja merayakan ulang tahun ke-3-nya tanggal 26 Januari 2007 kemarin, baru saja selesai interview pertama sekolah "pre-school" Manhattan, New York City. Kata mama Toby, "Toby mah baru mau masuk sekolah-sekolahan saja sudah di-interview, pertama kali mama di interview kan waktu harus cari kerja setelah lulus kuliah!".
Ya, memang jaman sekarang, apalagi di Manhattan, kebanyakan anak sudah harus masuk sekolah sebelum TK sebagai preparasi masuk TK dan sekolah-sekolah selanjutnya. Memang jaman mamanya Toby, paling seumur Toby ya diam dirumah saja. Ceritanya memang, apalagi di kota se-kompetitif Manhattan, New York City, orang tua anak sudah didorong untuk cepat-cepat cari sekolah hingga anak akhirnya bisa masuk ke sekolah tinggi beken seperti Harvard University.
Dorongan ini mulai di saat masuk "sekolah-sekolahan" atau pre-school ini. Jika sang anak masuk pre-school yang tepat dengan koneksi yang tepat, sang anak bisa masuk TK, yang bisa memasukkan anak ke SD, yang bisa memasukkan anak ke SMP, yang bisa memasukkan anak ke SMA, yang bisa memasukkan anak ke sekolah tinggi tipe Harvard University. Ya sebenarnya tujuannya bukan hanya sekolah tipe Harvard University, tapi dengan sang anak bisa masuk dan lulus dari sekolah semacam Harvard University, anak terjamin bertahan hidup sebagai orang kelas menengah atas di Amerika dan terhindar dari kemelaratan ekonomi di Amerika.
Walau orang tua Toby tidak terlalu terdorong untuk berkompetisi dengan konglomerat, pejabat dan warga Amerika ultra kompetitif lainnya yang suka sekali bercita-cita memasukkan anak mereka ke Harvard University, Toby tetap didaftarkan oleh orang tuanya untuk masuk pre-school cukup ok karena kedua orang tua Toby terlalu sibuk dengan program studi Doktor mereka. Pre-school ok ini digunakan kedua orang tua Toby sebagai tempat penitipan sampingan saatnya tidak bisa diurus mama atau papanya di rumah.
Karena pengalaman buruk setahun sebelum ini, dimana Toby terpaksa harus drop out dari satu-satunya pre-school "asal" yang didaftarkan mama setelah sang mba pengurus Toby pergi balik ke Indonesia, hingga mamanya terpaksa drop out sementara dari program Doktornya untuk mengurus Toby dirumah, tahun ini Toby di daftarkan untuk masuk beberapa pre-school yang cukup ok.
Untuk masuk pre-school Manhattan manapun, memang diperlukan pendaftaran kira-kira satu tahun sebelum anak mulai masuk sekolah. Jika ternyata setelah tahun ajaran mulai dan diketahui bahwa sekolahnya jelek dan anak harus drop out, tidak ada lagi pre-school yang terbuka untuk bisa menampung anak karena semua sudah penuh. Ini yang terjadi oleh Toby tahun lalu.
Tentu, preschool yang didaftarkan orang tua Toby tahun ini bukan tipe pre-school yang kebanyakan konglomerat dan pejabat Manhattan dafarkan anak-anak mereka, tapi cukup ok hingga Toby tidak terganggu mental dan fisiknya, juga cukup ok karena memberi Toby peluang pula untuk "mungkin" bisa bertemu teman-teman, orang tua dan guru yang punya latar belakang ala Harvard University, jika tidak koneksi langsung untuk benar masuk ke jalur sekolah-sekolah menuju Harvard University. Untuk masuk tipe pre-school ok di Manhattan, persyaratan utama adalah interview sang anak sebagai proses penyeleksian.
Ya, sore ini Toby baru selesai interview pertama pre-school ok ini. Pre-school yang Toby usaha masuki ini dikategorikan sebagai tipe "Co-op" karena orang tua diharuskan untuk turut serta aktif dalam proses pencarian dana sekolah dan berbagai aktifitas ringan anak-anak disekolah. Karena jenisnya cukup ok, kompetisi untuk masuk ke pre-school ini cukup ok pula, walau tidak se-heboh pre-school para konglomerat dan pejabat tinggi Manhattan.
Dalam interview Toby tadi, Toby dan orang tua diharuskan datang, bersama dengan beberapa calon murid dan orang tua lain, untuk saling berinterkasi dalam ruang main pre-school. Ada satu guru dan pemimpin pre-school yang turut serta berinterkasi dengan anak dan orang tua, tapi mereka lebih berfungsi untuk menilai apakah para calon anak dan orang tua "cocok" untuk diterima masuk pre-school mereka. Tentu Mama Toby tidak tahu secara pasti kriteria mereka ini apa, yang jelas pastinya Toby jangan sampai ngamuk didepan guru dan berkelahi dengan anak-anak lain. Mama Toby wanti-wanti agar Toby jangan lupa untuk tidak ngamuk dan rebutan mainan di depan guru. Selebihnya, mama Toby pikir, Toby jadi Toby saja deh. Menurut mama, Toby anak yang cukup ok ko dengan sendirinya.
Toby tentu senang-senang saja main di sekolah karena banyak sekali mainan dan ruangannya sangat luas, suasana yang sangat beda dengan apartemen Toby yang pada musim dingin ini merupakan tempat Toby berlindung sehari-harinya dari kebekuan suhu luar. Mama dan papanya Toby juga senang dengan sekolah ini karena guru-gurunya baik-baik, juga karena filosofi sekolah ini sangat cocok dengan tipe Toby dan keluarga.
Di sekolah ini, anak-anak tidak "diajari" tapi anak di semangati untuk bereksplorasi dan berkembang secara sosial dan intelektual dengan "bermain" dan "bergaul" dengan anak-anak lain. Tidak ada pelajaran spesifik seperti "bahasa dan berhitung" dimana guru berdiri di depan kelas dan mengajarinya ke anak-anak. Tidak ada jadwal atau kurikulum khusus pula dalam keseharian anak bersekolah. Kurikulum berkembang berdasarkan minat sang anak.
Di sekolah ini, ruangan dibagi atas tema-tema tertentu dimana sang anak bisa bereksplorasi. Ada sudut "seni", "sains", "membaca", "teater", "rumah-rumahan", "balok" dsb. dimana anak-anak dengan bebas bisa secara bergantian melakukan eksplorasi dengan pengawasan guru. Tentu, pada saat-saat tertentu, anak-anak diharapkan untuk berkumpul di depan guru untuk melakukan eksplorasi dalam bentuk kelompok. Papanya sangat suka dengan sekolah ini karena guru-gurunya terlihat sangat respek dengan individu sang anak.
Untuk interview ini, Toby dan kawan-kawan berexplorasi di sudut "balok", juga sudut "rumah-rumahan" dan sudut "membaca". Toby sibuk sekali di bagian dapur rumah-rumahan. Mamanya pikir, ya sepertinya Toby terlalu banyak gaul dengan mama saja di rumah jadi hobinya ke arah ini. Mama agak malu karena setelah melihat gerak-gerik Toby di dapur mainan ini, ko spertinya mirip dengan gerak-gerik dan expresi muka mama jika sedang sibuk di dapur.
Tapi Toby juga suka main di bagian balok. Mama agak bangga karena Toby memperlihatkan ke guru bahwa Toby sudah pintar berinitiatif menyortir balok berdasarkan bentuknya dengan benar tanpa suruhan sang guru. Dan karena memang pada dasarnya Toby anak cerewet, Toby bisa menjawab omongan dan pertanyaan guru tanpa malu-malu. Moga-moga semua ini bisa jadi poin besar bagi Toby untuk bisa diterima masuk sekolah ini semester depan.
Setelah sekitar 30 menit, sang guru mengumumkan anak-anak untuk mulai membereskan mainannya ke tempat asal. Nah, ini memang kerjaan favorit Toby: untuk memasukkan segala sesuatu ke tempat asal dengan baik dan benar. Toby sempat merasa tidak enak melihat ada satu mainan yang pintunya terbuka dan melapor ke mama untuk menutupnya. Mama jawab, "biar saja nanti bu guru akan menutupnya". Ternyata Toby jadi melapor ke sang guru dan guru menjawab "ya tak apa Toby, biarkan saja pintunya", Toby diam berpikir dengan dahi berkerut dan rasa yang masih agak gelisah.
Kedua orang tua Toby berharap Toby bisa lolos masuk ke sekolah ini. Esok hari, Toby akan interview lagi untuk sekolah lain. Toby sudah mendaftar ke 4 sekolah untuk mulai masuk September 2007. Kedua orang tua Toby berharap Toby bisa lolos masuk ke semua sekolah yang didaftarkan!
Kompetisi untuk lolos interview pre-school di New York City, bisa jadi sangat menyeramkan. Ada cerita dimana sang orang tua menyajikan kopi ke sang anak sebelum interview agar anak menjadi "aktif". Ada anak-anak yang di teror orang tua dengan pengetahuan mengenai huruf-huruf, nomor dan simbol-simbol berminggu-minggu sebelum interview jadi anak bisa terlihat "pintar". Ada sekolah yang mengharuskan orang tua untuk menulis esai mengenai bagaimana anak mereka bisa lebih hebat dari calon murid lain. Bahkan ada yang menyajikan uang "imbalan" ke sekolah-sekolah agar sang anak bisa lolos masuk. Ya, ini terjadi di jenis pre-school ultra kompetitif, yang sering diminati oleh para konglomerat, pejabat tinggi dan orang-tua super kompetitif di Manhattan, New York City.
Untung saja, Toby bisa sedikit bebas dari teror kehidupan seperti ini karena kedua orang tua Toby memilih untuk tidak hidup di bawah teror. Jika semua gagal, tak apa-lah, mamanya Toby siap untuk melepaskan ke-Doktorannya untuk mengurus Toby hingga siap masuk TK.
**Ilustrasi: Toby dan "Cousin" Kai di depan pintu Sesame Street
Thursday, February 1, 2007
Ingin Jadi Vegan Di New York City: Puncak Gaya Hidup "Modern" ?
Semenjak menginjak kaki di New York City, saya jadi banyak mengenal orang-orang penganut aliran 'Vegan'. Saya baru mengenal istilah ini setelah tinggal di New York City. Dahulu kala, saya pikir dunia hanya terbagi atas orang-orang seperti saya vs. orang pemakan sayur-mayur (Vegetarian). Ternyata dunia lebih kompleks dari ini dan ada orang-orang di dunia ini yang menganut aliran anti produk apapun yang terbuat dari binatang. Inilah kelompok orang-orang Vegan. Selain anti dengan produk binatang, mereka berusaha hidup gaya minimalis. Vegan adalah suatu filosofi dan gaya hidup.
Saya istilahkan sebagai "gaya minimalis" untuk menjelaskan filosofi hidup mereka yang hanya menggunakan apa yang telah disediakan di alam se-minimal mungkin. Berusaha mencintai sesama mahluk hidup. Berusaha memperlihatkan aura ketenangan dalam interaksi sesama manusia. Kebanyakan Vegan tidak menganut aliran agama lain, dan banyak diantara mereka yang "Ateis", walau teman saya yang Vegan percaya pada Tuhan dan memiliki latar belakang agama Katolik.
Ternyata setelah 6 tahun tinggal di New York City saya mulai ketularan ingin mengikuti gaya hidup kelompok Vegan. Ini terjadi terutama setelah beberapa kali mencicipi jenis makanan ala Vegan, juga karena dokter telah menvonis bahwa bocah 3 tahun kami kemungkinan memiliki kadar kolesterol tinggi dalam test darah terakhir. Ini memaksakan saya untuk memodifikasi menu makan sehari-hari dirumah.
Menyantap makanan Vegan sebagai alternatif memang menjadi lebih mudah daripada harus menyusun menu sendiri karena jenis makan seperti ini dapat dengan mudah saya temukan di berbagai pelosok toko makanan dan supermarkat-supermarket di New York City. Ternyata makanan Vegan yang isinya biji-bjijian sebagai alternatif protein binatang dan sayur-mayur cukup nikmat, sedikit mengingatkan saya kepada makanan Sunda yang sungguh saya sukai. Dengan menyantap protein alternatif ini bersamaan dengan kadar sayur-mayur yang tinggi, saya dapat dengan mudah menurunkan kadar kolesterol dalam diet keluarga. Selain nikmat, setelah menyantap jenis makanan ini tubuh terasa lebih "tenang". Saya bisa melakukan aktifitas sehari-hari dengan otak yang lebih jernih dan gerakan fisik yang lebih "gesit" dari sebelumnya.
Ya memang gaya hidup Vegan sungguh menarik bagi saya. Mungkin jika memang saya akhirnya menetap di New York City saya akan berubah menjadi seorang Vegan? Perhatikan bahwa gaya hidup ini tidak banyak ditemukan selain di kota-kota besar di Amerika. Di kota-kota kecil Amerika, yang dikenal dengan istilah "Suburbia", justru yang terjadi adalah sebaliknya: lebih banyak orang hidup bergaya konsumtif tinggi, termasuk perihal diet, dan memang gaya konsumtif seperti ini lebih umum dilabel sebagai gaya hidup ala "Amerika", terutama oleh mereka yang tidak pernah tinggal di Amerika.
Tapi memang sulit bagi saya untuk menjadi Vegan penuh karena saya seorang Muslim yang seharusnya menerima produk binatang dalam makanan dan materi hidup sehari-hari sebagai sesuatu rezeki Allah yang harus dimanfaatkan. Ya mungkin saja, seperti yang sering terjadi di New York City, perbenturan budaya yang terjadi dalam diri saya akan melahirkan metamorfosis kultur baru ala Amerika.
Memang gaya hidup Vegan memerlukan teknologi dan kreatifitas yang cukup tinggi. Seoarang Vegan diharapkan untuk selalu mencari alternatif selain produk binatang untuk melakukan kompleksitas aktifitas yang kita ketahui sebagai kehidupan "modern". Sebagai pemerhati awam evolusi kebudayaan, menurut saya, Vegan tidak akan mungkin lahir sebagai suatu gaya hidup tanpa adanya pengalaman konsumtif kehidupan modern. Sebagai ilustrasi, sepertinya tidak mungkin seseorang yang tinggal di suatu desa di Jawa berubah menjadi seoarang Vegan karena Ia tidak pernah terpaksa untuk memikirkan dan mengalami akibat dari kultur hidup "modern".
Wednesday, January 31, 2007
Sindroma Kaki Gelisah
"Restless Leg Syndrome (RLS)" atau saya akan secara bebas terjemahkan sebagai "Sindroma Kaki Gelisah" adalah suatu gejala klinis yang baru-baru saja di nobatkan sebagai "penyakit" di Amerika saat ini. Ya, bahkan para dokter di Amerika pun banyak yang tidak tahu adanya "penyakit" RLS ini dan akibatnya, banyak yang tidak mampu untuk mendiagnosanya secara tepat. Saya sendiri mengenal adanya penyakit ini akibat promosi gencar-gencaran perusahaan obat X dalam beberapa iklan dramatis di TV Amerika mengenai obat anti RLS.
Bayangkan anda sedang duduk, menikmati saat-saat istirahat anda diatas kursi malas kesukaan anda. Mungkin anda sedang asik membaca koran, atau menonton acara di TV. Tiba-tiba, entah kenapa, anda merasakan adanya ketidak-nyamanan menjalar dari telapak kaki anda, perasaan menggelitik yang tidak bisa hilang hingga akhirnya anda harus beranjak dari tempat duduk anda. Kadang perasaan ini muncul pula ketika anda sedang berusaha tidur di malam hari. Ya, jika anda sering merasakan ini, kemungkinan besar anda mengidap penyakit RLS. RLS adalah suatu penyakit neurologis yang menyebabkan para penderitanya harus bangkit dan menggerakkan kaki walau sebenarnya yang diinginkan adalah kaki untuk diam bukan bergerak. Sepertinya terjadi suatu konflik antara aktifitas neuron-neuron di otak dengan gerakan otot-otot pada kaki para penderita RLS.
Berulang kali menyaksikan tanyangan iklan RLS di TV, saya akhirnya berkesimpulan bahwa sepertinya saya adalah salah satu dari penderita penyakit RLS ini, walau pada tahapan yang cukup ringan. Tiap sebelum tidur, saya harus bangun dan pergi ke kamar mandi hanya untuk menghilangkan perasaan menggelitik di kaki. Kadang perasaan ini muncul pula jika saya diharuskan duduk diam untuk mendengar suami saya Roby sedang curhat. Sering Ia merasa kesal akibat kelakuan saya ini. Ya, detik ini pun, saya sedang mengalami sedikit serangan RLS, walau mungkin karena tangan saya sedang bergerak mengetik tulisan ini dan kaki saya bisa bebas untuk bergerak sedikit-sedikit, saya bisa menahan rasa untuk bangkit dari tempat duduk saya ini. Dan sepertinya, untuk saat ini, serangannya cukup ringan hingga tidak mengharuskan saya untuk bangkit dan menggerakkan kaki.
Walaupun Sindroma Kaki Gelisah ini sering kali menggangu kenyamanan saya bahkan orang-orang terdekat dalam kehidupan saya, sepertinya saya akan menahan diri dulu untuk bergegas pergi memaksa dokter saya menulis resep pil anti RLS. Ya, hingga saat ini saya masih bisa bertahan dan cukup bersedia untuk bangkit dari kenyamanan kursi atau tempat tidur saya pada saatnya saya mengalami serangan akut Sindroma Kaki Gelisah. Tentu untuk lebih pasti bahwa benar saya mengidap penyakit RLS, ada baiknya saya jenguk dokter pribadi saya. Tapi sepertinya, mengingat begitu barunya penobatan RLS sebagai suatu "penyakit", kemungkinan besar dokter saya pun tidak akan mampu untuk mendiagnosa keadaan ini lebih baik dari diri saya sendiri.
Wednesday, January 17, 2007
Hollywood
Kampus saya, Columbia University, sering dipakai tempat untuk
pengambilan film. Beberapa film terkenal yang memakai Columbia adalah
Ghostbusters dan Spiderman (ceritanya, Peter Parker pertama kali
digigit laba-laba di lab Columbia dan selanjutnya dia sekolah disitu).
Saya dan istri senang melihat-lihat kesibukan saat pengambilan film
ini. Selain melihat aktor-aktor terkenal dari dekat, saya kagum dengan
begitu rumitnya proses pengambilan film. Sehari sebelumnya, biasanya
kampus telah dikelilingi oleh belasan truk-truk trailer raksasa yang
berisi generator, pakaian, tempat rias aktor hingga tempat makan.
Semuanya dilakukan secara profesional, bahkan figuran yang kerjanya
hanya lalu lalang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa jurusan film atau
mereka yang sedang belajar seni peran. Tidak ada detail yang terlewat
atau dibiarkan begitu saja, semuanya direkayasa secara rapi.
Saya terkesan oleh kerja keras dan profesionalitas mereka ini. Dalam
hati saya berpikir, hanya untuk membuat film yang notabene adalah
hiburan, dikerjakan dengan tingkat keseriusan yang tinggi. Saya
terkesan. Saya pikir ini contoh kebudayaan tinggi dimana begitu besar
usaha dan sumber daya demi hiburan.
Sekarang pikiran saya lain.
Anda yang pernah menonton film War of the Worlds pasti ingat adegan
dimana sebuat pesawat jumbo jet B-747 jatuh di sebuah daerah pemukiman
di pinggir kota. Reruntuhan pesawat itu adalah pesawat asli B-747 yang
dipreteli dari tempat pembuangan pesawat dan dibawa satu persatu bagiannya ke studio di California yang lalu di bangun kembali. Selain itu mereka pun membuat reruntuhan rumah-rumah yang rusak dan terbakar. Barang rongsokan dan sampah berserakan dimana-mana (setiap posisi sampah adalah hasil pengaturan yang teliti). Totalnya, tidak kurang dari $500 ribu dihabiskan untuk membuat settingnya. Adegan di setting ini masuk ke filmnya selama 3 menit.
$500 ribu habis untuk adegan 3 menit, itulah Hollywood.
Jika sebelumnya saya berpikir Hollywood sebagai contoh kebudayaan
tinggi, sekarang saya pikir Hollywood sebagai contoh kebudayaan yang
sakit.
Dibanding film alternatif, saya sering lebih suka film Hollywood.
Mungkin Hollywood ada bagusnya juga, paling sedikit membuat orang
seperti saya terhibur. Hollywood mungkin dunia material sempurna;
dimana orang-orang yang pintar, kreatif, cantik, tampan, berkuasa dan
kaya bersatu. Hollywood jelas lebih populer di dunia dibanding
pemerintah Amerika. Pemerintah Amerika harusnya belajar dari Hollywood
bagaimana caranya agar bisa menguasai dunia.
