Tuesday, December 18, 2007
Indonesia Modern: Kartini & STA
Bagaimana saya memperoleh inspirasi dari Kartini dan STA.
"STA seakan-akan memastikan bahwa masa depan bukanlah milik Maria yang romantis dan
manis, tapi kepunyaan Tuti yang rasional dan ingin mencapai sesuatu."
Link relevan:
http://www.korantempo.com/news/2002/8/2/Budaya/1.html
"STA seakan-akan memastikan bahwa masa depan bukanlah milik Maria yang romantis dan
manis, tapi kepunyaan Tuti yang rasional dan ingin mencapai sesuatu."
Saturday, September 29, 2007
Really Achieving Your Childhood Dreams
http://www.cs.cmu.edu/~pausch/
the video is here:
http://video.google.com/videoplay?docid=362421849901825950&hl=en
Wednesday, September 19, 2007
Kapitalisme
Wednesday, August 15, 2007
Blog Baru
http://jejaring-sosial.blogspot.com
Isi blognya adalah berita, ide, opini dan penelitian yang berhubungan dengan social networks a.k.a jejaring sosial.
Friday, June 15, 2007
Perjalanan ke Indonesia: Individu (tidak) penting
Setelah lebih dari satu bulan berada di Indonesia, saya sudah mulai beradaptasi dan merasa nyaman tinggal di Bandung. Salah satu kegiatan yang saya nikmati adalah menonton TV lokal, dan membaca koran dan majalah. Menurut survei, sekitar 70% penduduk Indonesia menonton TV paling sedikit sekali setiap minggu. Jadi dengan banyak menonton TV lokal, sedikit banyak bisa mendapat gambaran kehidupan di Indonesia (meskipun tayangan TV didominasi kehidupan Jakarta, bukan Indonesia secara kesuluruhan).
Ada satu observasi menarik mengenai cara berpikir yang umum saya temui: perilaku negatif dari manusia dianggap berasal dari sebuah kategori. Misalnya, malas, tidak mengantri, suka gratisan, tidak jujur dianggap karakteristik "Bangsa Indonesia". Seksualitas dianggap sebagai "Budaya Barat" (tidak penting ketika baju kebaya tradisional menerawang dan cerita tradisional yang penuh seksualitas).
Yang saya permasalahkan disini adalah bukan benar tidaknya suatu karakterisasi. Tapi karakterisasi melalui kategori kolektif. Individu dianggap tidak penting. Wajar jika orang miskin mencuri, wajar jika orang Indonesia tidak mau mengantri, wajar jika orang Indonesia malas dan sebagainya. Individu hilang ditelan label atau kategori kolektif ("Bangsa Indonesia", "Budaya Indonesia", "Orang Jawa", "Orang Sunda"). Sebetulnya kategorisasi kolektif ini umum terjadi termasuk di Amerika; contoh paling nyata antipati pada setiap berjanggut dan memakai sorban di Amerika.
Disini ada perbedaan antara persepsi kita tentang perilaku orang. Kita sering menganggap perilaku orang disebabkan oleh kategori kolektif. Padahal ketika kita bertindak jarang dimotivasi oleh satu ide abstrak yang berasal dari kategori kolektif. Misal, karena saya orang Indonesia maka saya tak harus mengantri. Saya percaya orang cenderung pragmatis, mengambil keputusan berdasar situasi dan preferensi saat itu. Saya mengantri agar fair dan mengurangi kemungkinan konflik saat itu.
Yang berbuat baik atau buruk adalah individu, bukan kategori kolektif. Individu adalah agen kausalitas: individu yang menyebabkan sesuatu terjadi.
Titik berat pada individu ini bertentangan dengan semangat riset saya sendiri yang cenderung menafikan peran individu daripada struktur. Individu tidak bisa berbuat sekehendak hatinya, tetapi dibatasi oleh relasi yang ada antara dia dengan orang lain dan lingkungannya. Meskipun struktur ini sering pula memberikan peluang baru untuk bertindak, bukan hanya membatasi.
Dalam bahasa akademis, ilmu yang cocok untuk di Indonesia adalah ekonomi karena ia mementingkan individu; bukan sosiologi yang mementingkan struktur. Ini jika kita ingin melakukan perubahan (saya percaya bahwa kita berusaha ke kanan jika kita cenderung ke kiri dan sebaliknya; agar kita tetap di tengah).
Di Amerika saya sangat kritis terhadap ilmu ekonomi yang berlebihan menggunakan konsep insentif. Segalanya dijelaskan dengan insentif sehingga konsep insentif menjadi tautologi: terjadi karena ada insentif, dan ada insentif karena terjadi.
Di Indonesia saya cenderung menggunakan pola pikir ekonomi: individu lah yang bergerak merespons insentif.
Saya jadi ingat teman saya yang menyelesaikan doktor di bidang studi sains. Ia adalah pengkritik sains. Tapi ketika di Indonesia ia menjadi advokat sains karena di Indonesia sains tidak relevan dalam proses pengambilan keputusan. Jadi dia harus membangun sains dulu agar dia bisa melakukan pekerjaannya mengkritik sains setelah itu.
Mirip dengan saya, di Indonesia saya ingin para ekonom lebih menyebarluaskan konsep kebebasan individu. Setelah konsep itu diterima luas, maka baru saya bisa masuk memperlihatkan bahwa individu itu tidak terlalu bebas (tentu konstrain adalah konsep fundamental di ekonomi, tapi ekonom cenderung menganggapnya sebagai kotak hitam; dan tentu ada juga ekonom yang membongkar kotak itu meskipun kebanyakan lebih suka membiarkannya).
Tantangannya adalah, bagaimana menunjukkan bahwa individu tidak terlalu penting kepada masyarakat yang memang sudah percaya bahwa individu tak penting tanpa menjadi membosankan sehingga tidak selalu ditanggapi "oh itu sih udah jelas".
Thursday, April 26, 2007
Update
Saya pikir paling sedikit harus ada posting setiap bulan, maka ini posting satu-satunya bulan April.
Rencananya kita akan di Indonesia dari Mei sampai Juli. Tapi ini bukan liburan. Ini lebih seperti mengungsi. Alasan utamanya di Indonesia lebih banyak bala bantuan, terutama untuk menemani sang bocah 3 tahun. Sehingga Roby dan Tika bisa fokus kerja untuk disertasi.
Untuk keperluan pengungsian ini, dua buah komputer portable baru didatangkan. Untuk Roby sebuah MacBook Pro 2.33 GB core duo, RAM 2 GB. Untuk Tika sebuah Thinkpad X60s, dan Tika sekarang sedang pusing meng-install Gentoo di Thinkpad miliknya.
Tuesday, February 27, 2007
Apakah Sains?
Biasanya mahasiswa tidak menyukai sebuah mata kuliah dimana dosennya jarang datang. Tapi ada satu maka kuliah di ITB dahulu yang saya sukai meskipun kita hanya bertemu beberapa kali selama satu semester. Mata kualiahnya adalah kosmologi yang di ajarkan Dr. Jorga Ibrahim.
Kuliahnya tetap menarik, karena Pak Jorga memberikan banyak bahan dan karena tidak ada kelas, kita bebas mempelajari aspek kosmologi yang menarik untuk kita.
Masa itu saya cenderung matematis sehingga lebih tertarik mempelajari berbagai metrik yang menjelaskan alam semesta, misalnya Robertson-Walker metric yang mendasari teori big-bang. Saya kurang menaruh perhatian pada aspek kosmologi yang melibatkan pengukuran langsung.
Tapi dari situ saya tahu interaksi teori dan eksperimen dalam usaha manusia memahami alam.
Sains bagi saya adalah teori elegan seperti teori relativitas umum atau teori medan kuantum yang diverifikasi secara empiris dengan presisi tinggi. Bias saya memang ke teori.
Ketika saya masih mahasiswa di Bandung, suatu malam saya tidak bisa tidur karena begitu kagum akan keindahan persamaan Dirac dan saya akhirnya menulis surat (belum ada email di Bandung saat itu) ke teman saya di Jepang dan bercerita tentang persamaan Dirac. Dia adalah teman saya semasa SMA yang saya anggap saat itu sebagai salah satu teman yang bisa menghargai fisika. Bertahun-tahun kemudian dia bercerita bahwa dia kaget menerima surat saya dan dia pikir saya sudah gila.
Tapi saya juga bisa menikmati keindahan eksperimen. Saya merinding ketika membayangkan Penzias dan Wilson menunjukkan penemuan radiasi latar-belakang kosmik yang begitu tepat mengikuti kurva teoritis dalam sebuah pertemuan ilmiah.
Karena itu saya sulit tertarik akan teori sains yang hanya berdasar pada hubungan statistik tanpa teori yang menjelaskan mekanismenya. Contoh yang populer misalnya penjelasan ala Freakonomics. Meskipun buku itu ditulis dengan sangat bagus dan menarik tapi saya jengah terhadap argumennya yang menurut saya dangkal. Argumen bahwa semua bisa dijelaskan dengan insentif adalah naif: insentif uang, misalnya, memiliki efek beda tergantung pada gaji orang tersebut; untuk mengetahui insentif yang tepat perlu terlebih dahulu diketahui struktur relasi individu: saya harus memberi insentif berbeda untuk istri, orang tua, kakak, anak, teman atau orang lain.
Ini bukan berarti saya skeptis terhadap pemodelan statistik, saya justru menggunakannya juga. Saya hanya merasa bahwa pemodelan statistik belum lengkap.
Karena saya sekarang adalah ilmuwan sosial. Saya merasa bukan lagi saatnya mencari sebuah teori besar seperti teori kuantum, relativitas atau evolusi.
Saya percaya ilmu sosial analitik dibangun dengan fokus pada mekanisme. Tapi mekanisme tanpa teori juga menyulitkan. Contohnya adalah sains jaringan yang belum bisa diaplikasikan secara utuh karena belum ada teori jaringan. Dan tentu semuanya harus digandengkan dengan data melalui pemodelan statistik.
Jadi sains ideal itu yang mana?
Apakah sains itu teori elegan ala teori relativitas? Apakah sains adalah hubungan statistik dari data? ataukah sains adalah kumpulan mekanisme seperti teori kompleksitas, fisika zat padat, atau teori jaringan?
Tentu ketiganya saling berhubungan dan penting. Tapi yang saya ingin tahu adalah pendekatan mana yang membawa kita paling dekat ke realitas fundamental?
Wednesday, February 21, 2007
Ekonom
Selamat datang para pembaca blog terkenal Cafe Salemba
Saya sudah bertobat untuk tidak menggoda ekonom lagi, jadi anda tidak akan menemukan posting yang menggoda ekonom di blog ini. Saya sudah berdamai dengan ekonom, malah sekarang sedang berusaha melakukan riset bersama dengan seorang ekonom.
:D
Peradaban pura-pura?
Seorang kawan pernah mengatakan bagaimana dia sudah bosan tinggal di New York dan ingin segera pulang ke Indonesia. Saya tanya alasannya mengapa, dia jawab karena dia bosan berpura-pura. Dia mencontohkan bagaimana muaknya melihat kawan sekantornya yang mengatakan bahwa sesuatu great padahal dia membencinya.
Saya pikir memang ada benarnya apa yang dikatakan kawan itu. Sepertinya semakin maju sebuah peradaban semakin pintar orangnya untuk berpura-pura.
Lalu saya tidak pernah memikirkannya lagi. Juga kawan saya itu tidak jadi pulang ke Indonesia karena dia jatuh cinta dengan Yoga dan katanya dia hanya akan pulang ketika dia sudah menjadi instruktur Yoga (dia yoga 6 kali seminggu).
Di rumah saya sekarang, selain dipenuhi buku-buku tentang William James, pragmatisme dan sejarah Amerika juga dipenuhi semua buku mengenai Kartini yang ada di perpustakaan kampus saya.
Saya sedang tertarik melihat bagaimana Kartini berinteraksi dengan peradaban barat dan implikasinya. Banyak apa yang saya pikirkan sekarang sudah dituliskan oleh Kartini seratus tahun yang lalu.
Dan ini salah satu contohnya:
Berkali-kali kami menyaksikan adegan cium-ciuman yang memuakkan antara orang-orang yang kami tahu benar saling membenci. Yang berbuat demikian itu bukan 'nona-nona Indo' yang selalu dipandang rendah oleh kaum totok, melainkan nyonya-nyonya totok itu sendiri, yang katanya 'beradab' dan 'berpendidikan tinggi'. Kadang-kadang kami tanya pada diri sendiri: apakah peradaban itu? Apakah itu ....kemahiran untuk main pura-pura? Untuk bertingkah laku munafik?
Tentunya kita bisa membalikkannya dengan menunjukkan orang jawa justru sering dianggap doyan berpura-pura. Ini bukan soal ilmiah yang harus diputuskan benar atau salah; saya melihatnya sebagai ekspresi pengalaman.
PS: ada satu kesamaan antara Kartini dan William James: keduanya rajin sekali menulis surat. Keduanya rajin membanjiri kerabatnya dengan surat. Jika saja saat itu sudah ada blog, saya yakin blog Kartini dan William James sangat aktif dan menarik dibaca.
Monday, February 19, 2007
Kartini dan mahasiswa salon

oleh Roby
Saya terhentak membaca tulisan kawan ini
...Kita sudah terlalu lama dipaksakan versi yang itu-itu saja. Akibatnya ketimbang menempatkan Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita yang sewajarnya, bahkan ironis (walau pikiran-pikirannya jauh ke depan, dia tetap bertindak layaknya wanita di jamannya), bangsa Indonesia sudah terlanjut mengkultuskan sosok ini
Ketika saya masih memikirkan kenapa merasa terhentak, kawan lain menuliskan ini:
...merasa sebagai mahasiswa ’salon’ tidak berguna.
Lagi-lagi saya merasa sedikit terhentak.
Kenapa?
Ada dua hal.
Pertama, karena Kartini adalah pahlawan bagi tipe orang seperti saya: orang yang bekerja dalam bidang ide. Sebetulnya untuk Kartini, sosok dia lebih besar daripada pejuang ide. Dia juga membangun sekolah dan ingat dia melakukan semua ini di usia muda awal 20an (umur segitu, saya lebih banyak bengong daripada memikirkan hal serius). Kartini bukan hanya pejuang perempuan, tapi dia adalah pejuang intelektual.
Saya merasa sebagai penerus Kartini: percaya bahwa individualisme (bukan egoisme) adalah hal yang kurang di Indonesia. Saya juga setuju dengan Kartini bahwa pendidikan adalah jalur pemupukan individualisme ini. Pendapat saya juga sama dengan Kartini bahwa terlalu sulit untuk menyebarkan ide ini ke lapisan sosial bawah sehingga pendidikannya lebih terfokus untuk para elit bangsawan; karena juga mereka lah yang banyak menentukan opini luas. Perdebatan intelektual lebih sering terjadi di level elit.
Kedua, karena saya termasuk mahasiswa salon. Saya suka berbicara mengenai ide abstrak dan teoritis. Saya tidak terampil dengan tangan; jika ada yang rusak di rumah, istri saya yang membetulkannya, juga dia yang merakit lemari atau kursi. Waktu mahasiswa, saya ikut2an berdemo reformasi dan lari tunggang langgang ketika ada tentara mengarahkan senapannya ke arah saya (sejak itu saya merasa ilmu sosial lebih penting daripada fisika). Saya tidak memperjuangkan orang miskin atau tertindas - meskipun tentu sebagai manusia saya memiliki empati untuk itu.
Intinya adalah saya ingin mengatakan bahwa mereka yang bergerak di bidang teori pun perlu tempat. Jangan disepelekan karena dianggap tidak berjuang secara riil (seperti Kartini yang dibandingkan dengan Cut Nya Dien atau Dewi Sartika) atau disebut dengan ungkapan sinis seperti 'mahasiswa salon'.
Bukan berarti saya terlalu menganggap serius diri saya. Saya tidak merasa intelektualisme adalah sesuatu yang spesial. Jika bisa memilih antara intelek dan wajah tampan, saya akan memilih wajah tampan. Karena intelek biasanya hanya membuat orang kesal karena dianggap nyeleneh. Sedangkan wajah tampan mampu membuat orang senang; tidak ada kepuasan yang melebih dari membuat orang lain senang.
Lagipula, saya bukan seorang intelek yang spesial. Saya tidak pernah menjadi juara kelas atau meraih prestasi/penghargaan dalam bidang apapun (oh, pernah juara 3 perlombaan band antar kelas se SMA). Sewaktu SMP saya rangking 30an dan semasa SMA rangking belasan dan saya lulus dari ITB dengan IPK dibawah 3. Saya melamar menjadi dosen ITB dan ditolak. Maka itu saya pergi ke New York, dan saya beruntung Columbia mau menerima saya.
Intinya, ada kekuatan yang lebih besar dari manusia. Jimi Hendrix mengatakan dia tidak berusaha menulis musik genius, dia hanya merasa harus mengeluarkan bunyi-bunyian yang ada di kepalanya. Setiap orang mengikuti bunyi drum yang dia dengar. Tapi ingat juga kata Marx: Men make their own history, but they do not make it as they please. Jadi fakta bahwa Kartini tetap menikahi Joyodiningrat bukanlah ekspresi kelemahan. Manusia juga manusia.
Wednesday, February 14, 2007
Gaya Baca Buku
oleh Roby
Poltak membahas bagaimana dia gila buku dan bisa membaca cepat sehingga dia sekarang memiliki target untuk menghabiskan satu buku per minggu. Dia juga membedakan antara membaca dan memiliki buku, menurut dia
memiliki buku itu gampang -- tetapi membacanya sampai habis, itu soal lain...
Setiap orang tentu punya gaya masing-masing (saya nggak tau gaya si gila buku satu lagi ini apa), dan gaya saya membaca buku adalah begini. Oh ya, ini hanya berlaku untuk buku yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.
Saya tidak merasa harus membaca buku sampai habis. Yang paling penting buat saya adalah apa yang saya peroleh dari buku itu. Kadang dari satu buku, hanya satu kalimat yang memberikan kenikmatan tiada terkira. Jadi yang saya cari adalah kenikmatan itu. Kenikmatan ketika ide membentuk reaksi berantai di kepala.
Saya jarang merasa senang ketika berkata "saya sudah membaca buku itu sampai habis". Saya lebih senang ketika mencomot ide dari satu paragraf dan menceritakannya kenapa ide itu menarik.
Maka itu saya cenderung memiliki banyak buku. Malah saya baru menemukan salah satu kunci kebahagiaan: bacalah 10 buku sekaligus saat bersamaan. Kebahagiaan adalah terlepas dari kebosanan. Karena ada 10 buku yang sedang dibaca maka dijamin kita tidak pernah merasa bosan. Ambil satu buku dan ambil terus sampai ada ide menarik yang menyerap perhatian kita sehingga membuat kita semangat kembali.
Jadi saya tidak melihat buku sebagai tugas dimana harus dibaca habis. Buku adalah seperti TV; kita tidak pernah menonton semua acara TV tapi dia selalu ada jika kita ingin menonton. Jadi semakin banyak buku yang belum terbaca habis berserakan di rumah kita, semakin banyak pilihan kita, dan semakin tinggi probabilitasnya untuk menemukan ide menarik. Dan menemukan ide menarik adalah salah satu puncak kebahagiaan.
ilustrasi: koleksi pribadi.
Tuesday, February 13, 2007
Soal Paten Penyakit

oleh Roby
Baru-baru ini, Indonesia dipojokkan karena dianggap mengambil langkah kontroversial dengan menghentikan kerja-sama dengan WHO dalam hal analisis virus flu burung (blog Indonesia lain yang sudah membahasnya adalah Indonesia's Economy Blog - Sarapan Ekonomi dan ini).
Langkah yang dianggap kontroversial adalah Indonesia memilih menjual virus flu burung tersebut ke sebuah perusahaan Amerika dibanding mengirimkannya ke pusat studi WHO.
Sepintas, keputusan ini menjadi satu dari sekian banyak kebodohan Indonesia yang patut dikecam. Flu burung mengancam dunia dan sudah sepantasnya data mengenai virus tersebut disebarluaskan secara bebas.
Tetapi sebetulnya langkah Indonesia ini hanyalah satu ilustrasi dari masalah yang lebih umum tentang pemakaian paten dalam riset kesehatan.
Indonesia pantas kesal terhadap WHO karena data virus yang dikirim ke WHO ada yang dipakai dan lalu dipatenkan oleh perusahaan-perusahaan pembuat obat dan vaksin. Sungguh konyol jika virus asal Indonesia tersebut dipatenkan oleh perusahaan asing yang lalu menjual obatnya dengan harga yang tak terjangkau oleh Indonesia. Selain harga yang tak terjangkau, sangat mungkin Indonesia tidak akan kebagian jatah vaksin karena negara kaya dan negara pemilik perusahaan tersebut akan memperoleh vaksin terlebih dahulu.
Dengan menjual virus ke perusahaan Amerika tersebut, Indonesia dipastikan memiliki akses yang cepat dengan harga terjangkau untuk vaksin jika saja pandemi terjadi. Jadinya ini hal yang rasional dilakukan Indonesia.
Meskipun demikian, media massa barat membuat seolah-olah ini adalah perilaku buruk Indonesia yang patut dikecam; virus tidak berhak dimiliki oleh sebuah negara.
Menurut saya, yang patut dikecam adalah tidak adanya sistem yang adil dalam mengatur soal hak paten dalam bidang kesehatan. Indonesia hanyalah salah satu korban dari permainan ini.
Jangankan virus, dalam sistem sekarang, gen manusia pun dapat dimiliki oleh sebuah perusahaan.
Akibat perusahaan memiliki hak paten terhadap sebuah gen, misalnya, harga untuk pendeteksian kanker payudara menjadi tiga kali lipat lebih mahal. Data genome untuk hepatitis C dikuasai oleh sebuah perusahaan sehingga peneliti yang ingin melakukan penelitian hepatitis C harus membayar mahal; sehingga tidak heran para ilmuwan memilih meneliti penyakit yang tidak harus membayar mahal (sampai sekarang belum ada vaksin untuk hepatitis C dan biaya terapinya sangat mahal Rp.2juta untuk satu kali suntik, dan perlu disuntik kira-kira setiap minggu selama kurang lebih 6 bulan sampai satu tahun - di Indonesia penyakit ini cukup banyak).
Sekarang ini, tidak kurang dari 20 patogen penyebab penyakit manusia hak patennya dimiliki oleh perusahaan komersil.
Inilah sulitnya menjadi negara lemah dan miskin. Bertindak demi kepentingan rakyat sendiri dituduh sebagai kepicikan tiada terkira. Padalah negara-negara yang menuduh itu melakukan hal yang sama atau malah lebih jahat, kemunafikan yang tiada terkira.
UPDATE: Sebuah opini di kompas membahas hal yang sama.
ilustrasi: virus H5N1 (http://buzz.smm.org/buzz/media/images/H5N1.preview.jpg)
Thursday, February 8, 2007
Individu dan Kelompok
Mungkin karena tipe kepribadian atau pekerjaan, saya cenderung jarang berkenalan dengan orang baru. Saya selalu merasa tidak nyaman jika harus memperkenalkan diri ke seseorang. Saya menganggap berkenalan sebagai mengganggu orang, maka saya tidak mau mengganggu orang dengan mengenalkan diri sendiri.
Tapi tentunya berkenalan menjadi bagian hidup yang tak bisa saya hindari. Sejujurnya, saya suka memiliki kenalan baru; yang saya tidak suka adalah awal proses berkenalan karena saya sering tidak tahu harus berbuat apa.
Dari pengalaman pribadi, saya merasakan orang Indonesian dan Amerika memiliki gaya berkenalan yang berbeda. Sebagai pertanyaan pembuka percakapan, orang Indonesia cenderung bertanya daerah asal; bisa kota atau suku asal. Sedangkan orang Amerika (atau orang Indonesia yang tinggal di Amerika) cenderung memulai dengan menanyakan apa yang saya kerjakan.
Ini setidaknya memberikan ilustrasi mengenai perbedaan penilaian seorang individu menurut budaya Indonesia dan Amerika. Yang penting bagi orang Indonesia adalah asal-usul seseorang (ontologis). Disini ada asumsi implisit bahwa seorang individu tidak bisa lepas dari karakter tempat atau suku dimana dia dilahirkan. Nilai individu tidak bisa lepas dari nilai kelompok.
Sebaliknya, Amerika lebih peduli tentang apa yang seseorang perbuat atau kerjakan (pragmatis). Asal-usul seseorang tidak terlalu penting, karena orang Amerika percaya bahwa justru tugas individu untuk menemukan jati-dirinya yang sering berarti lepas dari tempat asalnya.
Tentu teori ini tidak berlaku untuk menerangkan kasus spesifik. Bush menjadi presiden bukan karena apa yang dia kerjakan tapi lebih karena dia keturunan keluarga terpandang. Sebaliknya, Suharto tetap bisa berkuasa meskipun dia adalah anak petani.
Saya hanya mengulang konsep umum bahwa budaya barat yang individualis dan timur yang kolektif juga terekspresikan, secara sadar atau tidak, dalam cara berkenalan.
Wednesday, February 7, 2007
Amien Rais di Columbia
Amien Rais sedang berada di Amerika dan barusan dia memberikan kuliah umum di kampus saya.
Kuliah umum ini diselenggarakan oleh sebuah pusat riset baru mengenai agama, demokrasi dan toleransi. Indonesia menjadi salah satu fokus kegiatannya bersama dengan negara islam lain. Di kesempatan ini Amien Rais berbicara mengenai pengalaman pribadinya terutama ketika menjadi ketua MPR. Dia dianggap berhasil meletakan fondasi demokrasi (tanpa embel-embel 'demokrasi terpimpin' atau 'demokrasi pancasila') di Indonesia.
Dia menganggap masalah ideologi dan politik di Indonesia sudah selesai: Pancasila sebagai dasar negara tidak bisa diubah. Menurut dia masalah utama sekarang adalah memberikan bukti kepada rakyat bahwa demokrasi membawa perbaikan taraf hidup terutama secara ekonomi.
Amien dikenal sangat kritis terhadap perusahaan asing di Indonesia. Dia memperjelas posisi dia bahwa dia tidak menginginkan nasionalisasi perusahaan asing dan tidak menolak globalisasi. Yang dia permasalahkan adalah operasional penambangan yang dikuasai 100% oleh perusahaan-perusahaan asing. Menurut dia seharusnya Indonesia menjadi partner dengan memiliki andil dalam operasi penambangan (bukan dalam bagi hasil saja).
Kata Amien "Hugo Chavez bagus, tapi berdasar standar Indonesia dia terlalu arogan".
Ketika sesi tanya-jawab, terlihat dua pandangan berbeda antara Amien dengan para penanya. Untuk Amien masalah Indonesia yang harus dikhawatirkan adalah ekonomi. Sedangkan kebanyakan peserta lebih peduli atau khawatir soal kemungkinan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Buat Amien, ideologi Pancasila sudah tidak mungkin dirubah. Aspirasi untuk penerapan syariat Islam selalu ada, tapi menurut dia, Indonesia tidak mungkin menjadi negara berdasar syariat Islam.
Amien memberikan dua cerita anekdot sebagai ilustrasi.
Pertama, ketika dia menjabat ketua MPR, dua pimpinan partai yang ingin merubah pasal 29 UUD menjadi (kira-kira): Indonesia berdasar syariat Islam yang harus dijalankan oleh muslim, datang ke kantornya. Mereka mengatakan bahwa usul mereka akan kalah di pemungutan suara MPR. Mereka meminta Amien untuk menyiapkan strategi untuk menyelamatkan muka mereka yaitu dengan meniadakan voting. Lalu Amien bertanya, jika memang anda tahu bahwa anda bakal kalah, kenapa anda selalu mengajukan ide tersebut. Kedua pemimpin partai tersebut mengatakan bahwa isu itu mereka lempar hanya untuk menyenangkan konstituen partai mereka. Mereka harus mengusung issu tersebut jika tidak ingin ditinggalkan pengikutnya.
Kedua, dia bercerita tentang seorang bupati yang dituntut oleh beberapa ulama di wilayahnya untuk menerapkan syariat Islam. Bupati ini lalu mengumpulkan para ulama tersebut dan memberikan dana bagi mereka untuk menyiapkan program penyiapan syariah Islam dalam hal administrasi kabupaten seperti peraturan pajak dan gaji pegawai. Setelah beberapa bulan para ulama ini kembali dengan tangan kosong karena mereka tak berhasil merumuskan program penerapan syariat Islam untuk administrasi tersebut.
Untuk kasus Aceh, Amien berharap suatu saat Aceh sadar bahwa eksperimen mereka dalam menerapkan syariat Islam secara jor-joran tidak akan membawa hasil positif.
Dari cerita diatas, Amien menyimpulkan bahwa menurut dia syariah Islam tidak akan pernah menjadi konstitusi Indonesia. Bagi saya orang Indonesia yang tinggal di Amerika, perbedaan ini menjadi semacam paradoks. Saya bisa mengerti kenapa orang di Amerika lebih peduli soal syariat Islam, dan pada saat yang sama, sebagai orang Indonesia saya juga mengerti bahwa ekonomi sehari-hari menjadi perhatian utama orang di Indonesia.
Amien juga menyinggung pekerjaan rumah yang belum selesai yaitu mengakhiri campur tangan militer di politik. Seorang peserta diskusi sangat terperangah ketika mengetahui bahwa militer Indonesia membiayai dirinya sendiri.
Isu mengenai perusahaan asing sebetulnya lebih menarik bagi saya, tapi karena saya masih memikirkannya maka saya tulis lain waktu saja.
Tuesday, February 6, 2007
Dompet hilang yang kembali
Sekitar dua minggu lalu, sehabis merayakan ulang tahun Toby yang ketiga, saya dan Iwan pergi ke Times Square untuk menonton film Pan's Labyrinth(:wikipedia). Sehabis nonton, alangkah terkejutnya saya ketika merogoh saku celana karena dompet saya tidak ada. Kita cepat-cepat kembali ke bioskop untuk mencari tapi hasilnya nihil. Akhirnya saya relakan dompet itu dan atas kebaikan Iwan meminjami uang saya bisa pulang dengan selamat.
Selain uang $40, kartu ATM, sekolah, SIM dan beberapa kertas lain, tidak ada dokumen penting lainnya. Karena sebelumnya saya sudah pernah kehilangan dompet juga.
Kehilangan pertama terjadi dekat kampus saya. Entah bagaimana dompet saya terjatuh. Tapi beruntung dompet saya bisa kembali. Ya kembali secara utuh. Seseorang mengirim email dan menyebutkan dompet saya dititipkan di seorang pegawai kafetaria di kampus. Sepertinya dia menemukan email saya melalui website sekolah saya.
Hari ini, saya mendapat surat yang agak tebal tanpa dilengkapi identitas pengirim. Ternyata isi surat itu adalah seluruh isi dompet saya, minus uang dan dompetnya itu sendiri. Seluruh kartu identitas ada disitu , juga cek yang belum saya uangkan. Jadi bisa dibilang, lagi-lagi, isi dompet saya kembali.
Meskipun uangnya tidak kembali, tapi saya cukup kaget karena ada yang bersedia mengirim isi dompet saya itu kembali. Mengingat kali ini dompetnya hilang bukan di seputar kampus, tapi di pusat keramaian tengah kota (:wikipedia). Mungkin saja uang saya dipakai untuk membeli perangko seharga 78 sen. Tapi saya masih bisa hargai kepedulian dia untuk mengembalikan barang-barang saya. Meskipun tidak berarti banyak karena saya sudah mendapatkan kartu-kartu pengganti yang hilang.
Memang masih ada kebaikan di kota New York.
Thursday, February 1, 2007
Korelasi atau kausalitas?
Monday, January 29, 2007
Langkah menuju doktor
Sewaktu masih kuliah di Bandung, saya pernah membaca buku Pengalaman Belajar di Amerika Serikat karya Arief Budiman. Saya baca habis buku kecil yang enak dibaca ini sambil berdiri di toko buku Gramedia Bandung. Setelah selesai membacanya, saya semakin bertekad bahwa suatu saat saya akan ke Amerika untuk sekolah dan bisa bercerita seperti dia. Kalau Arief Budiman menuliskan sebuah buku, untuk saya cukuplah menulis di blog.
Seperti perjalanan pada umumnya, saya mulai dengan menjelaskan posisi saya sekarang dalam perjalanan meraih gelar doktor.
Di Columbia (:wikipedia Indonesia), tempat saya sekarang, program PhD dibagi menjadi beberapa tahap. Meskipun kita diterima di program doktor, tetapi status resminya adalah kandidat MA. Selama dalam program MA, kita diharuskan mengambil kuliah selama 4 semester. Di akhir semester ke empat, kita harus mengambil ujian umum (ujian kualifikasi) dan menulis sebuah MA paper. Jika dinyatakan lulus maka kita mendapat gelar Master of Arts (MA) dan berhak menjadi kandidat M.Phil.
Sebagai kandidat M.Phil (Master of Philosophy) kita harus menyelesaikan seluruh persyaratan kuliah dan kredit: total kuliah 60 kredit. Selain itu kita juga harus menulis sebuah paper yang cukup berkualitas untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah. Paper ini dikenal sebagai M.Phil paper dan setelah selesai akan dibaca oleh dua orang profesor. Hasilnya ada tiga kemungkinan:
(1). Dinyatakan tidak lulus dan tidak berhak memperoleh gelar M.Phil - lalu harus keluar dari program dengan gelar MA,
(2). Dinyatakan lulus mendapat gelar M.Phil tapi tidak berhak menjadi kandidat PhD - lalu harus keluar program dengan gelar M.Phil,
(3). Dinyatakan lulus memperoleh gelar M.Phil dan berhak meneruskan menjadi kandidat PhD.
Setelah memperoleh gelar M.Phil dan baru resmi menjadi kandidat doktor, ujian selanjutnya adalah menulis proposal disertasi. Untuk ini kita perlu membuat komite disertasi yang terdiri dari tiga profesor. Jika proposal disertasi diterima maka diteruskan dengan riset untuk disertasi yang diakhiri dengan sidang akhir pengukuhan doktor. Jika lulus ujian akhir ini barulah gelar doktor diberikan.
Lalu saya ada dimana?
Meskipun para profesor di komite disertasi saya telah menandatangani bukti persetujuan proposal disertasi bulan Desember lalu, saya masih harus membuat revisi. Mereka menganggap riset saya terasa seperti beberapa buah paper yang tidak saling berhubungan. Jadi sekarang saya sedang berusaha meyakinkan para profesor dan diri saya sendiri bahwa disertasi saya adalah sebuah karya intelektual yang koheren.
Sedangkan Tika lebih maju dari saya, dia sudah menyelesaikan kira-kira 70% disertasinya. Tapi karena kita harus gantian mengurus anak yang belum sekolah tanpa bantuan orang lain, jadi tidak mungkin kita berdua bekerja full time; salah satu diantara kita harus ada yang part time. Sekarang adalah giliran saya untuk bekerja full time. Oh ya, sekedar info, sekarang saya ada di tahun kelima di program ini dan Tika di tahun ke empat.
Dilain waktu saya akan ceritakan detail langkah-langkah di atas dan bagaimana saya melaluinya. Perlu dicatat bahwa tidak semua universitas memiliki persyaratan sama seperti yang saya tulis di atas. Bahkan dalam satu universitas yang sama pun tetapi berbeda program atau departemen, persyaratannya bisa berbeda.
Sunday, January 28, 2007
Calon Doktor
Saya ingin bereksperimen dengan blog ini. Yaitu dengan memfokuskan isi blog ini sebagai catatan resmi perjalanan kita menjalani program doktor di Amerika. Saya pikir ini lebih cocok untuk saya daripada berpura-pura menjadi ahli atau pakar dan berusaha membuat blog yang 'cerdas dan kritis' karena sejujurnya saya belum cukup dewasa secara intelektual.
Tentunya cerita pengalaman menjalani program doktor bukanlah sesuatu cukup menarik untuk sebuah acara reality show di TV, tapi sepertinya cukup pantas untuk sebuah blog. Ada beberapa alasan kenapa cerita calon doktor perlu ada:
- Untuk para calon doktor lain, cerita kita bisa menjadi pelipur lara bahwa anda tidak sendirian menjalani perjalanan yang sepi tetapi penuh gejolak.
- Untuk mereka yang ingin menjadi doktor, cerita kita bisa menjadi mikroskop untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi ketika seseorang menjadi calon doktor. Komitmen seperti apa yang dibutuhkan dan imbalan apa yang mungkin diperoleh.
- Untuk mereka yang sudah menjadi doktor, anggaplah ini sebagai nostalgia masa muda.
- Karena situasi kita, suami istri calon doktor dengan seorang anak laki-laki umur 3 tahun, jadi kita juga bisa berbagi pengalaman diluar urusan sekolah, misalnya bagaimana mengatur keluarga dan sekolah atau pengalaman membesarkan anak di New York.
- Untuk mereka yang tidak berniat menjadi doktor atau tidak peduli soal ini, ya paling tidak blog ini bisa jadi bacaan ketika bosan (dengan probabilitas tinggi anda akan menjadi lebih bosan).
Meskipun sangat mungkin blog ini berubah bentuk menjadi sebuah buku harian anak sekolahan, tapi tidak tertutup kemungkinan untuk kita menulis isyu-isyu yang berhubungan dengan bidang yang kita tekuni atau hal-hal yang lebih 'serius' (apakah ada yang lebih serius daripada soal kehidupan itu sendiri alias curhat?). Selain curhat, refleksi, kuliah pendek dan analisis kita juga akan menuliskan informasi mengenai pendidikan tinggi di Amerika (mungkin berguna bagi mereka yang berniat sekolah di Amerika).
Seperti eksperimen pada umumnya, kita hanya bisa berharap eksperimen ini akan selesai dengan akhir yang indah.
Wednesday, January 24, 2007
"Memilih" untuk pensiun
Karena membaca ini saya jadi ingat sebuah cerita yang saya dengar dari seorang profesor ekonomi di kampus saya.
Departemen ekonomi dan sekolah bisnis di kampus saya termasuk kuat di negara ini dan dipenuhi profesor-profesor brilian. Kebanyakan pegawai di Amerika mengikuti program investasi untuk masa pensiun (misalnya 401k:wikipedia), termasuk profesor-profesor ini. Setiap orang harus membuat alokasi sendiri untuk programnya. Misalnya, berapa persen di investasikan di saham, berapa persen di obligasi, berapa persen di saham blue chip dll. Intinya program ini memang dibuat agar setiap individu bisa memiliki program investasi sesuai dengan preferensi masing-masing.
Kita bisa mengira bahwa para profesor ini akan melakukan pilihan alokasi yang canggih sesuai dengan ilmu yang mereka miliki. Perkiraan ini juga konsisten dengan teori tradisional ekonomi dimana orang akan memilih sesuai preferensi masing-masing.
Tapi yang terjadi, menurut cerita seorang profesor tersebut, biasanya para profesor ini pergi ke sekretaris di departemen dan menanyakan bagaimana kebanyakan orang membuat alokasi investasi. Lalu, biasanya, mereka meminta alokasi yang sama dengan yang dipilih kebanyakan orang.
Ternyata, ikut-ikutan orang bukan hanya monopoli orang berpendidikan rendah. Para pakar elit ini pun memilih untuk mengikuti orang untuk sebuah keputusan penting pribadi yaitu persiapan masa pensiun.
Politik Dinasti
Hillary Clinton baru saja resmi mencalonkan diri menjadi kandidat presiden Amerika. Jika dia terpilih, maka Amerika akan dipimpin oleh dua keluarga selama dua dekade: Bush, Clinton, Bush, Clinton.
Jika terjadi, ini memang cukup ironik karena terlihat bertentangan dengan salah satu idealisme Amerika yaitu meritokrasi (meskipun riset tentang mobilitas ekonomi menunjukkan kemungkinan orang miskin menjadi kaya dan kaya menjadi miskin di Amerika tidak terlalu berbeda jauh dengan Inggris dimana sekat sosial masih kuat).
Meskipun demikian, seorang presiden tetaplah individu bukan keluarga.
Contohnya adalah ketika presiden Bush kedua bersiap-siap akan menyerang Irak, dia sama sekali tidak meminta nasihat dari satu-satunya orang yang punya pengalaman menyerang Irak: sang ayah presiden Bush pertama. Memang tidak jelas apakah jika kedua presiden tersebut saling bertukar pikiran maka hasilnya akan lain. Tapi ini cukup menunjukkan bahwa diantara ayah dan anak pun bisa ada jurang cukup lebar. Sebagian orang menganggap ini sebagai cara sang presiden Bush kedua untuk menunjukkan bahwa dia mampu menangani masalah sendiri tanpa perlu meminta bantuan ayah.
Efek negatif dari dinasti politik yang paling sering kita dengar adalah nepotisme dimana hubungan keluarga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan masih keluarga.
Seorang kolumnis koran New York Times mengusulkan jika Hillary Clinton terpilih menjadi presiden sebaiknya dia menunjuk suaminya Bill Clinton yang dikenal sebagai politikus sangat berbakat untuk menjadi menteri luar negeri.
Meskipun kemungkinan untuk ini kecil, tapi menarik mengamati sampai sejauh mana isu nepotisme bakal menjadi perhatian publik dan politikus Amerika.

