Wednesday, February 7, 2007

Amien Rais di Columbia

oleh Roby

Amien Rais sedang berada di Amerika dan barusan dia memberikan kuliah umum di kampus saya.

Kuliah umum ini diselenggarakan oleh sebuah pusat riset baru mengenai agama, demokrasi dan toleransi. Indonesia menjadi salah satu fokus kegiatannya bersama dengan negara islam lain. Di kesempatan ini Amien Rais berbicara mengenai pengalaman pribadinya terutama ketika menjadi ketua MPR. Dia dianggap berhasil meletakan fondasi demokrasi (tanpa embel-embel 'demokrasi terpimpin' atau 'demokrasi pancasila') di Indonesia.

Dia menganggap masalah ideologi dan politik di Indonesia sudah selesai: Pancasila sebagai dasar negara tidak bisa diubah. Menurut dia masalah utama sekarang adalah memberikan bukti kepada rakyat bahwa demokrasi membawa perbaikan taraf hidup terutama secara ekonomi.

Amien dikenal sangat kritis terhadap perusahaan asing di Indonesia. Dia memperjelas posisi dia bahwa dia tidak menginginkan nasionalisasi perusahaan asing dan tidak menolak globalisasi. Yang dia permasalahkan adalah operasional penambangan yang dikuasai 100% oleh perusahaan-perusahaan asing. Menurut dia seharusnya Indonesia menjadi partner dengan memiliki andil dalam operasi penambangan (bukan dalam bagi hasil saja).

Kata Amien "Hugo Chavez bagus, tapi berdasar standar Indonesia dia terlalu arogan".

Ketika sesi tanya-jawab, terlihat dua pandangan berbeda antara Amien dengan para penanya. Untuk Amien masalah Indonesia yang harus dikhawatirkan adalah ekonomi. Sedangkan kebanyakan peserta lebih peduli atau khawatir soal kemungkinan penerapan syariat Islam di Indonesia.

Buat Amien, ideologi Pancasila sudah tidak mungkin dirubah. Aspirasi untuk penerapan syariat Islam selalu ada, tapi menurut dia, Indonesia tidak mungkin menjadi negara berdasar syariat Islam.

Amien memberikan dua cerita anekdot sebagai ilustrasi.

Pertama, ketika dia menjabat ketua MPR, dua pimpinan partai yang ingin merubah pasal 29 UUD menjadi (kira-kira): Indonesia berdasar syariat Islam yang harus dijalankan oleh muslim, datang ke kantornya. Mereka mengatakan bahwa usul mereka akan kalah di pemungutan suara MPR. Mereka meminta Amien untuk menyiapkan strategi untuk menyelamatkan muka mereka yaitu dengan meniadakan voting. Lalu Amien bertanya, jika memang anda tahu bahwa anda bakal kalah, kenapa anda selalu mengajukan ide tersebut. Kedua pemimpin partai tersebut mengatakan bahwa isu itu mereka lempar hanya untuk menyenangkan konstituen partai mereka. Mereka harus mengusung issu tersebut jika tidak ingin ditinggalkan pengikutnya.

Kedua, dia bercerita tentang seorang bupati yang dituntut oleh beberapa ulama di wilayahnya untuk menerapkan syariat Islam. Bupati ini lalu mengumpulkan para ulama tersebut dan memberikan dana bagi mereka untuk menyiapkan program penyiapan syariah Islam dalam hal administrasi kabupaten seperti peraturan pajak dan gaji pegawai. Setelah beberapa bulan para ulama ini kembali dengan tangan kosong karena mereka tak berhasil merumuskan program penerapan syariat Islam untuk administrasi tersebut.

Untuk kasus Aceh, Amien berharap suatu saat Aceh sadar bahwa eksperimen mereka dalam menerapkan syariat Islam secara jor-joran tidak akan membawa hasil positif.

Dari cerita diatas, Amien menyimpulkan bahwa menurut dia syariah Islam tidak akan pernah menjadi konstitusi Indonesia. Bagi saya orang Indonesia yang tinggal di Amerika, perbedaan ini menjadi semacam paradoks. Saya bisa mengerti kenapa orang di Amerika lebih peduli soal syariat Islam, dan pada saat yang sama, sebagai orang Indonesia saya juga mengerti bahwa ekonomi sehari-hari menjadi perhatian utama orang di Indonesia.

Amien juga menyinggung pekerjaan rumah yang belum selesai yaitu mengakhiri campur tangan militer di politik. Seorang peserta diskusi sangat terperangah ketika mengetahui bahwa militer Indonesia membiayai dirinya sendiri.

Isu mengenai perusahaan asing sebetulnya lebih menarik bagi saya, tapi karena saya masih memikirkannya maka saya tulis lain waktu saja.

No comments: