Wednesday, January 31, 2007

Sindroma Kaki Gelisah

oleh Tika

"Restless Leg Syndrome (RLS)" atau saya akan secara bebas terjemahkan sebagai "Sindroma Kaki Gelisah" adalah suatu gejala klinis yang baru-baru saja di nobatkan sebagai "penyakit" di Amerika saat ini. Ya, bahkan para dokter di Amerika pun banyak yang tidak tahu adanya "penyakit" RLS ini dan akibatnya, banyak yang tidak mampu untuk mendiagnosanya secara tepat. Saya sendiri mengenal adanya penyakit ini akibat promosi gencar-gencaran perusahaan obat X dalam beberapa iklan dramatis di TV Amerika mengenai obat anti RLS.

Bayangkan anda sedang duduk, menikmati saat-saat istirahat anda diatas kursi malas kesukaan anda. Mungkin anda sedang asik membaca koran, atau menonton acara di TV. Tiba-tiba, entah kenapa, anda merasakan adanya ketidak-nyamanan menjalar dari telapak kaki anda, perasaan menggelitik yang tidak bisa hilang hingga akhirnya anda harus beranjak dari tempat duduk anda. Kadang perasaan ini muncul pula ketika anda sedang berusaha tidur di malam hari. Ya, jika anda sering merasakan ini, kemungkinan besar anda mengidap penyakit RLS. RLS adalah suatu penyakit neurologis yang menyebabkan para penderitanya harus bangkit dan menggerakkan kaki walau sebenarnya yang diinginkan adalah kaki untuk diam bukan bergerak. Sepertinya terjadi suatu konflik antara aktifitas neuron-neuron di otak dengan gerakan otot-otot pada kaki para penderita RLS.

Berulang kali menyaksikan tanyangan iklan RLS di TV, saya akhirnya berkesimpulan bahwa sepertinya saya adalah salah satu dari penderita penyakit RLS ini, walau pada tahapan yang cukup ringan. Tiap sebelum tidur, saya harus bangun dan pergi ke kamar mandi hanya untuk menghilangkan perasaan menggelitik di kaki. Kadang perasaan ini muncul pula jika saya diharuskan duduk diam untuk mendengar suami saya Roby sedang curhat. Sering Ia merasa kesal akibat kelakuan saya ini. Ya, detik ini pun, saya sedang mengalami sedikit serangan RLS, walau mungkin karena tangan saya sedang bergerak mengetik tulisan ini dan kaki saya bisa bebas untuk bergerak sedikit-sedikit, saya bisa menahan rasa untuk bangkit dari tempat duduk saya ini. Dan sepertinya, untuk saat ini, serangannya cukup ringan hingga tidak mengharuskan saya untuk bangkit dan menggerakkan kaki.

Walaupun Sindroma Kaki Gelisah ini sering kali menggangu kenyamanan saya bahkan orang-orang terdekat dalam kehidupan saya, sepertinya saya akan menahan diri dulu untuk bergegas pergi memaksa dokter saya menulis resep pil anti RLS. Ya, hingga saat ini saya masih bisa bertahan dan cukup bersedia untuk bangkit dari kenyamanan kursi atau tempat tidur saya pada saatnya saya mengalami serangan akut Sindroma Kaki Gelisah. Tentu untuk lebih pasti bahwa benar saya mengidap penyakit RLS, ada baiknya saya jenguk dokter pribadi saya. Tapi sepertinya, mengingat begitu barunya penobatan RLS sebagai suatu "penyakit", kemungkinan besar dokter saya pun tidak akan mampu untuk mendiagnosa keadaan ini lebih baik dari diri saya sendiri.

Monday, January 29, 2007

Langkah menuju doktor

oleh Roby

Sewaktu masih kuliah di Bandung, saya pernah membaca buku Pengalaman Belajar di Amerika Serikat karya Arief Budiman. Saya baca habis buku kecil yang enak dibaca ini sambil berdiri di toko buku Gramedia Bandung. Setelah selesai membacanya, saya semakin bertekad bahwa suatu saat saya akan ke Amerika untuk sekolah dan bisa bercerita seperti dia. Kalau Arief Budiman menuliskan sebuah buku, untuk saya cukuplah menulis di blog.

Seperti perjalanan pada umumnya, saya mulai dengan menjelaskan posisi saya sekarang dalam perjalanan meraih gelar doktor.

Di Columbia (:wikipedia Indonesia), tempat saya sekarang, program PhD dibagi menjadi beberapa tahap. Meskipun kita diterima di program doktor, tetapi status resminya adalah kandidat MA. Selama dalam program MA, kita diharuskan mengambil kuliah selama 4 semester. Di akhir semester ke empat, kita harus mengambil ujian umum (ujian kualifikasi) dan menulis sebuah MA paper. Jika dinyatakan lulus maka kita mendapat gelar Master of Arts (MA) dan berhak menjadi kandidat M.Phil.

Sebagai kandidat M.Phil (Master of Philosophy) kita harus menyelesaikan seluruh persyaratan kuliah dan kredit: total kuliah 60 kredit. Selain itu kita juga harus menulis sebuah paper yang cukup berkualitas untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah. Paper ini dikenal sebagai M.Phil paper dan setelah selesai akan dibaca oleh dua orang profesor. Hasilnya ada tiga kemungkinan:

(1). Dinyatakan tidak lulus dan tidak berhak memperoleh gelar M.Phil - lalu harus keluar dari program dengan gelar MA,
(2). Dinyatakan lulus mendapat gelar M.Phil tapi tidak berhak menjadi kandidat PhD - lalu harus keluar program dengan gelar M.Phil,
(3). Dinyatakan lulus memperoleh gelar M.Phil dan berhak meneruskan menjadi kandidat PhD.

Setelah memperoleh gelar M.Phil dan baru resmi menjadi kandidat doktor, ujian selanjutnya adalah menulis proposal disertasi. Untuk ini kita perlu membuat komite disertasi yang terdiri dari tiga profesor. Jika proposal disertasi diterima maka diteruskan dengan riset untuk disertasi yang diakhiri dengan sidang akhir pengukuhan doktor. Jika lulus ujian akhir ini barulah gelar doktor diberikan.

Lalu saya ada dimana?

Meskipun para profesor di komite disertasi saya telah menandatangani bukti persetujuan proposal disertasi bulan Desember lalu, saya masih harus membuat revisi. Mereka menganggap riset saya terasa seperti beberapa buah paper yang tidak saling berhubungan. Jadi sekarang saya sedang berusaha meyakinkan para profesor dan diri saya sendiri bahwa disertasi saya adalah sebuah karya intelektual yang koheren.

Sedangkan Tika lebih maju dari saya, dia sudah menyelesaikan kira-kira 70% disertasinya. Tapi karena kita harus gantian mengurus anak yang belum sekolah tanpa bantuan orang lain, jadi tidak mungkin kita berdua bekerja full time; salah satu diantara kita harus ada yang part time. Sekarang adalah giliran saya untuk bekerja full time. Oh ya, sekedar info, sekarang saya ada di tahun kelima di program ini dan Tika di tahun ke empat.

Dilain waktu saya akan ceritakan detail langkah-langkah di atas dan bagaimana saya melaluinya. Perlu dicatat bahwa tidak semua universitas memiliki persyaratan sama seperti yang saya tulis di atas. Bahkan dalam satu universitas yang sama pun tetapi berbeda program atau departemen, persyaratannya bisa berbeda.

Sunday, January 28, 2007

Calon Doktor

oleh Roby

Saya ingin bereksperimen dengan blog ini. Yaitu dengan memfokuskan isi blog ini sebagai catatan resmi perjalanan kita menjalani program doktor di Amerika. Saya pikir ini lebih cocok untuk saya daripada berpura-pura menjadi ahli atau pakar dan berusaha membuat blog yang 'cerdas dan kritis' karena sejujurnya saya belum cukup dewasa secara intelektual.

Tentunya cerita pengalaman menjalani program doktor bukanlah sesuatu cukup menarik untuk sebuah acara reality show di TV, tapi sepertinya cukup pantas untuk sebuah blog. Ada beberapa alasan kenapa cerita calon doktor perlu ada:
  1. Untuk para calon doktor lain, cerita kita bisa menjadi pelipur lara bahwa anda tidak sendirian menjalani perjalanan yang sepi tetapi penuh gejolak.
  2. Untuk mereka yang ingin menjadi doktor, cerita kita bisa menjadi mikroskop untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi ketika seseorang menjadi calon doktor. Komitmen seperti apa yang dibutuhkan dan imbalan apa yang mungkin diperoleh.
  3. Untuk mereka yang sudah menjadi doktor, anggaplah ini sebagai nostalgia masa muda.
  4. Karena situasi kita, suami istri calon doktor dengan seorang anak laki-laki umur 3 tahun, jadi kita juga bisa berbagi pengalaman diluar urusan sekolah, misalnya bagaimana mengatur keluarga dan sekolah atau pengalaman membesarkan anak di New York.
  5. Untuk mereka yang tidak berniat menjadi doktor atau tidak peduli soal ini, ya paling tidak blog ini bisa jadi bacaan ketika bosan (dengan probabilitas tinggi anda akan menjadi lebih bosan).

Meskipun sangat mungkin blog ini berubah bentuk menjadi sebuah buku harian anak sekolahan, tapi tidak tertutup kemungkinan untuk kita menulis isyu-isyu yang berhubungan dengan bidang yang kita tekuni atau hal-hal yang lebih 'serius' (apakah ada yang lebih serius daripada soal kehidupan itu sendiri alias curhat?). Selain curhat, refleksi, kuliah pendek dan analisis kita juga akan menuliskan informasi mengenai pendidikan tinggi di Amerika (mungkin berguna bagi mereka yang berniat sekolah di Amerika).

Seperti eksperimen pada umumnya, kita hanya bisa berharap eksperimen ini akan selesai dengan akhir yang indah.

Wednesday, January 24, 2007

"Memilih" untuk pensiun

oleh Roby

Karena membaca ini saya jadi ingat sebuah cerita yang saya dengar dari seorang profesor ekonomi di kampus saya.

Departemen ekonomi dan sekolah bisnis di kampus saya termasuk kuat di negara ini dan dipenuhi profesor-profesor brilian. Kebanyakan pegawai di Amerika mengikuti program investasi untuk masa pensiun (misalnya 401k:wikipedia), termasuk profesor-profesor ini. Setiap orang harus membuat alokasi sendiri untuk programnya. Misalnya, berapa persen di investasikan di saham, berapa persen di obligasi, berapa persen di saham blue chip dll. Intinya program ini memang dibuat agar setiap individu bisa memiliki program investasi sesuai dengan preferensi masing-masing.

Kita bisa mengira bahwa para profesor ini akan melakukan pilihan alokasi yang canggih sesuai dengan ilmu yang mereka miliki. Perkiraan ini juga konsisten dengan teori tradisional ekonomi dimana orang akan memilih sesuai preferensi masing-masing.

Tapi yang terjadi, menurut cerita seorang profesor tersebut, biasanya para profesor ini pergi ke sekretaris di departemen dan menanyakan bagaimana kebanyakan orang membuat alokasi investasi. Lalu, biasanya, mereka meminta alokasi yang sama dengan yang dipilih kebanyakan orang.

Ternyata, ikut-ikutan orang bukan hanya monopoli orang berpendidikan rendah. Para pakar elit ini pun memilih untuk mengikuti orang untuk sebuah keputusan penting pribadi yaitu persiapan masa pensiun.

Politik Dinasti

oleh Roby

Hillary Clinton baru saja resmi mencalonkan diri menjadi kandidat presiden Amerika. Jika dia terpilih, maka Amerika akan dipimpin oleh dua keluarga selama dua dekade: Bush, Clinton, Bush, Clinton.

Jika terjadi, ini memang cukup ironik karena terlihat bertentangan dengan salah satu idealisme Amerika yaitu meritokrasi (meskipun riset tentang mobilitas ekonomi menunjukkan kemungkinan orang miskin menjadi kaya dan kaya menjadi miskin di Amerika tidak terlalu berbeda jauh dengan Inggris dimana sekat sosial masih kuat).

Meskipun demikian, seorang presiden tetaplah individu bukan keluarga.

Contohnya adalah ketika presiden Bush kedua bersiap-siap akan menyerang Irak, dia sama sekali tidak meminta nasihat dari satu-satunya orang yang punya pengalaman menyerang Irak: sang ayah presiden Bush pertama. Memang tidak jelas apakah jika kedua presiden tersebut saling bertukar pikiran maka hasilnya akan lain. Tapi ini cukup menunjukkan bahwa diantara ayah dan anak pun bisa ada jurang cukup lebar. Sebagian orang menganggap ini sebagai cara sang presiden Bush kedua untuk menunjukkan bahwa dia mampu menangani masalah sendiri tanpa perlu meminta bantuan ayah.

Efek negatif dari dinasti politik yang paling sering kita dengar adalah nepotisme dimana hubungan keluarga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan masih keluarga.

Seorang kolumnis koran New York Times mengusulkan jika Hillary Clinton terpilih menjadi presiden sebaiknya dia menunjuk suaminya Bill Clinton yang dikenal sebagai politikus sangat berbakat untuk menjadi menteri luar negeri.

Meskipun kemungkinan untuk ini kecil, tapi menarik mengamati sampai sejauh mana isu nepotisme bakal menjadi perhatian publik dan politikus Amerika.

Wednesday, January 17, 2007

Hollywood

oleh Roby

Kampus saya, Columbia University, sering dipakai tempat untuk
pengambilan film. Beberapa film terkenal yang memakai Columbia adalah
Ghostbusters dan Spiderman (ceritanya, Peter Parker pertama kali
digigit laba-laba di lab Columbia dan selanjutnya dia sekolah disitu).

Saya dan istri senang melihat-lihat kesibukan saat pengambilan film
ini. Selain melihat aktor-aktor terkenal dari dekat, saya kagum dengan
begitu rumitnya proses pengambilan film. Sehari sebelumnya, biasanya
kampus telah dikelilingi oleh belasan truk-truk trailer raksasa yang
berisi generator, pakaian, tempat rias aktor hingga tempat makan.
Semuanya dilakukan secara profesional, bahkan figuran yang kerjanya
hanya lalu lalang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa jurusan film atau
mereka yang sedang belajar seni peran. Tidak ada detail yang terlewat
atau dibiarkan begitu saja, semuanya direkayasa secara rapi.


Saya terkesan oleh kerja keras dan profesionalitas mereka ini. Dalam
hati saya berpikir, hanya untuk membuat film yang notabene adalah
hiburan, dikerjakan dengan tingkat keseriusan yang tinggi. Saya
terkesan. Saya pikir ini contoh kebudayaan tinggi dimana begitu besar
usaha dan sumber daya demi hiburan.

Sekarang pikiran saya lain.


Anda yang pernah menonton film War of the Worlds pasti ingat adegan
dimana sebuat pesawat jumbo jet B-747 jatuh di sebuah daerah pemukiman
di pinggir kota. Reruntuhan pesawat itu adalah pesawat asli B-747 yang
dipreteli dari tempat pembuangan pesawat dan dibawa satu persatu bagiannya ke studio di California yang lalu di bangun kembali. Selain itu mereka pun membuat reruntuhan rumah-rumah yang rusak dan terbakar. Barang rongsokan dan sampah berserakan dimana-mana (setiap posisi sampah adalah hasil pengaturan yang teliti). Totalnya, tidak kurang dari $500 ribu dihabiskan untuk membuat settingnya. Adegan di setting ini masuk ke filmnya selama 3 menit.


$500 ribu habis untuk adegan 3 menit, itulah Hollywood.


Jika sebelumnya saya berpikir Hollywood sebagai contoh kebudayaan
tinggi, sekarang saya pikir Hollywood sebagai contoh kebudayaan yang
sakit.


Dibanding film alternatif, saya sering lebih suka film Hollywood.
Mungkin Hollywood ada bagusnya juga, paling sedikit membuat orang
seperti saya terhibur. Hollywood mungkin dunia material sempurna;
dimana orang-orang yang pintar, kreatif, cantik, tampan, berkuasa dan
kaya bersatu. Hollywood jelas lebih populer di dunia dibanding
pemerintah Amerika. Pemerintah Amerika harusnya belajar dari Hollywood
bagaimana caranya agar bisa menguasai dunia.

Friday, January 12, 2007

Siapa Musuh Amerika?

oleh Roby

Di tulisan ini, saya mengutip laporan komisi 9/11 tentang siapa musuh Amerika menurut komisi tersebut: musuh Amerika adalah terorisme Islamis.

Saya jadi penasaran dan membaca lebih jauh apa definisi terorisme islamis menurut komisi 9/11.

Berikut petikan dan terjemahan bebasnya:

Terorisme islamis adalah turunan langsung dari Islamisme. Islamisme berbeda dengan Islam, Islam adalah agama dan budaya yang telah ada sejak lebih dari seribu tahun lalu, sedangkan Islamisme adalah fenomena politik/agama yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa besar di abad 20.


Maka itu, menurut Komisi 9/11, muslim (sebagai pemeluk agama Islam) berbeda dengan islamis (sebagai penganut ideologi islamisme). Selanjutnya,

Islamisme didefinisikan sebagai gerakan militan Islam anti demokrasi yang memiliki pandangan holistik tentang Islam dan bertujuan mengembalikan sistem kalifah.


Selain itu, juga ditulis,

Gerakan Islamisme lahir di tahun 1940an sebagai produk dunia modern dan dipengaruhi konsep Marxis-Lenin tentang organisasi revolusioner.



Sumber: Laporan komisi 9/11, halaman 562. Di buku laporan tersebut disebutkan berbagai referensi darimana definisi-definisi di atas diambil.

Antisipasi Teror

oleh Roby

Komisi yang menyelidiki serangan 9/11 (Komisi 9/11) menuliskan dalam laporannya bahwa strategi anti-terorisme Amerika jangan (terjemahan bebas)

terfokus pada terorisme secara umum. Ketidakjelasan ini akan membuat strategi yang tak fokus. Ancaman terbesar saat ini lebih spesifik. Yaitu ancaman dari terorisme Islamis.

(penekanan dari teks asli).

Kemarin kedutaan besar Amerika di Athena, Yunani di serang roket anti-tank yang dilakukan oleh kelompok Marxis (berita New York Times).

Ketika orang Amerika mengira Marxisme telah mati dan menganggap ancaman terorisme satu-satunya hanya dari kelompok Islamis, kelompok Marxis malah melancarkan serangan baru.

Adalah tindakan yang ceroboh dari Komisi 9/11 dengan menganggap bahwa ancaman teror hanya bersumber dari kelompok Islamis. Kelompok teroris lain – dari mulai ekstrimis nasionalis Amerika yang melakukan pemboman di Oklahoma hingga kelompok ekstrimis lingkungan dan anti-aborsi – dapat bangkit memanfaatkan celah-celah keamanan.

Argumen yang sama dipakai untuk menolak racial profiling (pemeriksaan yang dilakukan petugas keamaan berdasarkan ras seseorang).

Jika hanya orang-orang yang terlihat keturunan Arab yang diperiksa ketat di airport, maka tak lama kemudian teroris akan mencari orang bukan keturunan Arab untuk melakukan aksi teror. Semua kelompok orang (termasuk kakek tua atau bayi) harus memiliki probabilitas yang tidak nol untuk diperiksa secara lebih teliti di airport. Karena jika tidak, teroris dengan mudah menangkap pola pemeriksaan keamanan sehingga bisa lolos dari pemeriksaan. Pemeriksaan secara acak lebih baik.

Tuesday, January 9, 2007

Bagaimana caranya melindungi perempuan cantik?

Solusi Ekonomi Melindungi Perempuan Cantik

oleh Roby

Salah satu masalah utama yang dihadapi situs pencari jodoh adalah perempuan cantik memperoleh terlalu banyak pesan elektronik sehingga sulit membedakan pria mana yang serius dengan yang hanya main-main. Akibatnya perempuan cantik menjadi tidak nyaman dan keluar dari situs tersebut. Hal ini tentunya sangat merugikan bagi pemilik situs karena banyaknya perempuan cantik menjadi daya tarik pria untuk berlangganan layanan pencarian jodoh di situs miliknya.

Bingung mengatasi masalah ini, pemilik situs pencari jodoh mendapat pertolongan dari ekonom.

Solusi yang ditawarkan ekonom adalah membuat jumlah pesan yang dapat dikirim seseorang terbatas. Jadi seseorang tidak akan menghambur-hamburkan jatah menulis pesan yang dimiliki. Dia hanya akan mengirim pesan ke seseorang yang dia yakini memang calon pasangan yang baik bagi dirinya.

Cara ini ternyata berhasil.

Malah, seperti dilaporkan di koran the Wall Street Journal hari ini, cara yang sama juga dipakai oleh Asosiasi Ekonom Amerika untuk ‘menjodohkan’ para doktor baru ekonomi yang mencari kerja untuk menjadi dosen di universitas di Amerika. Selain itu, cara serupa dipakai untuk menjodohkan pelamar sekolah kedokteran dengan sekolah kedokteran di Amerika.

Konsep ini adalah bagian dari teori baru yang sedang dikembangkan di ilmu ekonomi. Teori baru ini berusaha bermula dari observasi bahwa mekanisme pasar sering tidak berjalan mulus jika dibiarkan begitu saja. Teori ini berusaha memperbaiki kesalahan yang terjadi di mekanisme pasar.

Teori Market Design ini telah dipakai dengan sukses untuk membuat sistem lelang frekuensi radio di Amerika.

Monday, January 8, 2007

Cara Pengambilan Keputusan

oleh Roby

Yang sekolah di Indonesia pasti pernah diajari berkali-kali bagaimana cara pengambilan keputusan melalui musyawarah dan mufakat adalah ciri khas Indonesia. Tentunya cara ini bukanlah satu-satunya cara mengambil keputusan secara kolektif. Misalnya ada cara voting, baik independen (kita tidak bisa melihat pilihan orang lain) atau dependen (setiap orang bisa melihat pilihan orang lain, sehingga pilihan seseorang bisa terpengaruh pilihan orang lain).

Saya yakin setiap cara pengambilan keputusan memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung pada jenis masalah yang dihadapi. Nah, sepertinya menarik untuk mengetahui dalam situatu seperti apa pengambilan keputusan dengan cara voting independen, non-independen dan konsensus menjadi superior.

Kita bisa rancang sebuah eksperimen dimana orang diminta untuk menyelesaikan sebuah masalah. Lalu kita buat tiga kelompok yang masing-masing menggunakan cara pengambilan keputusan yang berbeda, yaitu:

• Voting yang independen.
• Voting non-independen.
• Konsensus.

Lalu kita bisa lihat kelompok mana yang paling efektif dalam menyelesaikan masalah.

Satu hal yang saya antisipasi cukup sulit adalah membuat kategorisasi masalah. Tapi ini bisa diatasi, paling tidak untuk permulaan, dengan menggunakan satu jenis masalah saja. Meskipun tetap perlu dipikirkan secara serius jenis masalah apa yang cocok digunakan dalam eksperimen.

Sunday, January 7, 2007

Serangan Mendadak

oleh Roby

Serangan mendadak - seperti ketika Jepang menyerang Pearl Harbor, Vietnam Utara dan Vietcong menyerang kota-kota di Vietnam Selatan secara serentak saat perayaan Tet (the Tet offensive), Mesir dan Suriah menyerang Israel (perang Yom Kippur), dan serangan teroris 9/11 - ternyata memiliki kesamaan.

Kesamaan yang paling mencolok adalah banyaknya informasi dan tanda-tanda sebelum serangan bahwa sebuah serangan akan terjadi.

Amerika tahu pasti bahwa Pearl Harbor adalah sasaran utama Jepang. Militer Amerika telah mendeteksi adanya mobilisasi besar-besaran tentara Vietnam Utara yang menunjukkan persiapan akan sebuah serbuan besar. Israel memang ‘menantikan’ serangan Mesir dan Suriah sebagai balasan serangan Israel yang dilakukan 6 tahun sebelumnya. CIA telah memperingatkan presiden Bush pada musim panas 2001 bahwa Al-Qaeda akan menyerang Amerika.

Jadi, masalah utama dalam mengantisipasi serangan mendadak adalah bukan kekurangan informasi. Melainkan kesulitan memberikan arti dan makna pada informasi yang tersedia, sehingga para pemimpin gagal mengambil tindakan yang dapat mencegah serangan tersebut.

Ini berarti menghindari serangan mendadak tidak dapat dilakukan hanya dengan meningkatkan aktivitas pengambilan informasi seperti memperbanyak mata-mata atau meningkatkan penyadapan. Yang lebih penting dilakukan adalah membuat struktur dan manajemen organisasi intelijen yang memungkinkan pengolahan informasi secara mendalam yang melibatkan pakar dari berbagai bidang. Yang juga tak kalah penting adalah memastikan para pakar tersebut bisa saling berkonsultasi satu sama lain.

Memberikan arti dan makna pada informasi sering lebih sulit daripada memperoleh informasi itu sendiri.


Sumber: Richard Posner, Preventing Surprise Attacks.

Friday, January 5, 2007

Dagang Dengan Musuh

oleh Roby

Selama tahun 2006, di negara X, penjualan mobil naik dua kali lipat, kredit rumah naik tiga kali lipat, dan utang kartu kredit naik dua kali lipat.

Terlihat negara X sepertinya sedang berada di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Selain itu, di ibu kota negara X, merek-merek terkenal Amerika bermunculan dengan cepat. Iklan-iklan dari Citigroup, Hewlett-Packard, Ford, General Motors mendominasi pemandangan di ibu kota, dan juga merek-merek tersebut memiliki pangsa pasar terbesar di bidangnya masing-masing. Restoran McDonald tersebar di seluruh pelosok negeri dan olah-raga favorit di negara X ini adalah baseball.

Jika melihat data, maka diketahui bahwa tidak kurang dari sepertiga total impor negara X berasal dari Amerika. Negara X adalah penghasil minyak dan Amerika adalah konsumen minyak terbesarnya; sedangkan negara X adalah supplier minyak terbesar ke empat untuk Amerika. Selama tahun 2006, total perdagangan negara X dan Amerika naik 36 persen.

Kelihatannya, negara X ini sekutu dekat Amerika. Siapakah negara X ini?

Negara X ini adalah Venezuela! Presiden Venezuela Hugo Chavez dikenal di seluruh dunia sebagai presiden yang sangat anti Amerika. Dia menyebut Presiden Bush sebagai setan di depan sidang umum PBB.

Presiden Chavez membangun reputasi internasionalnya sebagai pemimpin anti Amerika. Sementara itu, untuk reputasi dalam negeri, Chavez membangun ekonomi negerinya dengan ketergantungan yang sangat tinggi dengan Amerika.

Paradoks dimana negara yang saling bermusuhan secara retorika ideologis tapi memiliki hubungan ekonomi yang erat tidak hanya terjadi diantara Amerika dan Venezuela. Korea Selatan memiliki pengalaman yang kelam dengan Jepang dan sentimen anti Jepang selalu tinggi di Korea Selatan. Meskipun demikian, Jepang adalah partner dagang terbesar kedua untuk Korea Selatan. Malah Cina dan Taiwan yang saling bermusuhan – dimana ancaman serangan militer sudah menjadi hal yang tak asing – memiliki perdagangan yang totalnya bernilai 36 milyar dollar.

Perdagangan sepertinya bisa menjadi peredam konflik ideologis.

Sumber: James Surowiecki, Synergy with the devil, The New Yorker, Jan. 8, 2007.

Thursday, January 4, 2007

Reorientasi Organisasi Alumni Universitas

oleh Roby

Satu hal yang sangat membantu para sarjana baru untuk mendapat pekerjaan yang diinginkan adalah dengan menggunakan koneksi sosial yang dimiliki alumni universitas tersebut. Tidaklah heran jika banyak yang melihat tujuan utama ikatan alumni adalah untuk saling tukar informasi secara informal.

Selain aktifitas informal, ikatan alumni juga melakukan aktifitas formal dengan melaksanakan berbagai kegiatan. Dari pengamatan saya, kegiatan formal ini biasanya dikemas sebagai kontribusi alumni universitas yang bersangkutan kepada masyarakat umum. Singkatnya, secara organisasi, ikatan alumni melihat dirinya sebagai agen universitas di masyarakat.

Menurut saya hal ini tidak terlalu efektif karena dua hal berikut:

1. Setelah lulus, seseorang mendapatkan pekerjaan dan sekaligus identitas baru. Jadi ketika mereka ingin berkontribusi untuk masyarakat, mereka cenderung menggunakan identitas barunya. Identitas alumni universitas bukan hal utama dan menjadi penting hanya ketika sedang berada diantara sesama alumni. Konflik identitas ini mengurangi fokus dan membuat kontribusi yang ingin dilakukan menjadi kurang efektif.

2. Organisasi ikatan alumni harus berkompetisi dengan organisasi lain yang lebih profesional di bidangnya masing-masing.

Daripada menjadi agen universitas di masyarakat umum, akan lebih efektif jika alumni universitas menjadi agen masyarakat di almamaternya. Disini organisasi ikatan alumni memiliki fokus berkontribusi untuk almamater. Misalnya dengan memberi masukan mengenai apa-apa saja yang perlu di ajarkan di bangku kuliah agar para lulusan universitas menjadi lebih siap menghadapi dunia kerja.

Agar saran dari alumni ini didengar oleh pihak universitas, maka alumni harus memberikan kontribusi untuk universitas yang secara langsung dirasakan manfaatnya. Yaitu, uang. Ikatan alumni seharusnya fokus untuk berusaha memberikan bantuan finansial bagi almamaternya. Hal ini menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Pihak universitas jelas diuntungkan dari sumbangan dana dan juga dari saran dan informasi para alumni mengenai dunia kerja. Para alumni juga diuntungkan jika almamaternnya, dengan sokongan dana yang cukup, semakin mampu melaksanakan tugasnya melakukan pendidikan dan riset sehingga naik gengsinya di mata publik. Gengsi universitas yang naik tentunya juga membuat para alumninya dinilai lebih berharga.

Intinya, organisasi formal alumni universitas akan lebih berguna jika mereka menjadi agen masyarakat yang memberi kontribusi untuk almamater daripada menjadi agen almamater di masyarakat umum.

Implikasi praktisnya adalah organisasi ikatan alumni harus lebih banyak mengadakan kegiatan yang bertujuan menggalang dana untuk almamater. Selain itu, secara formal ikatan alumni harus sering berdialog dengan para birokrat kampus untuk memberikan masukan mengenai dinamika terkini di dunia kerja.