by Tika
I am a very patriotic Indonesian. When I was little, I practiced marching up and down those steps leading to flagpole minutes after August 17th flag raising ceremonies ended at our little Indonesian Embassy, as all the 'adults' came inside to feast on the day's prepared meals. I joined the PASKIBRA team during highschool when I was actually physically in Indonesia, having to endure many tortures prior to being initated into the group. I memorized all that history about why/how/who of our red and white flag, those UUD '45 pasal-s, all those natioanlistic songs. I knew how to march using the bamboo while only being let to eat a bite of 'singkong' all day long and constant fear of being dipped in mud or sewage water. I relinquished trips to malls during weekends just to get that march down. I knew how to march in straight line and turn in an actual group, with my eyes closed! Yep, I knew how to march.
So I am very patriotic, perhaps because I grew up in very secluded part of Indonesia where they only speak of good things about being Indonesian, a.k.a. the Indonesian diplomatic corps -- I didn't really have anything bad to say about being Indonesian. Even now, whenever I pick up three year old in New York City pre-school, I listen to this very patriotic Indonesian song, when no one else around me probably don't even know we as a people exist. So I dare anyone else who can be more patriotic than I am. I love Indonesia.
But I must say that I am very disappointed in Indonesians nowadays. We keep on picking at the wrong fights that seem to getting us nowhere. We just like to walk on the same spot I think. For instance, why do we pick on what Malaysians should and should not put as part of their tourism propaganda? Is this all what Indonesia is all about? I confess that there are more stuff I can grieve about, but let's just stick to this as one of the most popular thing going on right now.
I remember the time when I would introduce myself as Indonesian and people think that it is some remote area in Bali. I don't blame them. Back then, as the Indonesian diplomatic corps, we are made to tell people about the nice food we have to eat there, those traditional dances, those costumes that we don't really wear anymore except during marriages and such, but we say this is our Indonesia. Oh but some of the food we do eat in real life. But after the Tsunami, we are really popular as being a tragedy ridden nation filled with poor defenseless people, perhaps a smiling terrorist or two. So now we like to get back to being thought of as that remote part of Bali, or at least a Bali-like place, as it is after all a 'better image' of Indonesia?
Our Indonesia is much more than this to me. Much more that those dances I never learned to do, those elaborate costumes I never get to wear, those flavorful dishes. It is about a people who fought to become a free and proud country -- with their blood.
So I don't worry so much about what Malyasian's put in their tourism propaganda since I know Indonesia is much more than these superficial assets we call 'ours'. It is something that can never be taken away by anyone, no matter how many rendang's end up on a Malaysian Restaurant menu. It is what our forefather's have fought for us, the pride and the freedoms they gave us through their sacrifice. Something very much worth the fight. It is up to us to continue this struggle.
My father was Consulate General of Kota Kinabalu when the great TKI tragedy was developing in Malaysia. I remember I was able to go and have peaceful day and get my passport renewed in the Embassy there, while tons of Indonesians, men women children came pouring in looking for shelter, not much peaceful on their front. There are plenty of horror stories to go around. My dad got angry one time an 'Indonesian embasy staff' refused help to a man who was obviously hurt and beaten, as there was no room to take him in at the embassy. My father straightenedd that 'staff' out. So yes, there are plenty problems that we must try to sift through when it comes to our 'relations' with our closest neighbour. But we must be wise enough to pick fights that are worth our while.
*** additional replies to this post here.
More opinions here and here.
Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts
Thursday, December 13, 2007
Sunday, February 11, 2007
Bumi Memanas, Katak Tenggelam Dalam Tempurungnya
oleh Tika
Panel International Perubahan Iklim (IPCC), yang terdiri dari sekitar 600 ilmuwan dunia dan 113 wakil pemimpin dunia, menerbitkan pernyataan bahwa bumi akan terus memanas jika manusia tidak cepat merubah gaya hidupnya. Perusakan lingkungan hidup, gaya hidup konsumtif yang mengakibatkan emisi gas rumah kaca berlebih, adalah sebab dari "pemanasan global" ini. Bahwa pemanasan global bersumber pada ulah manusia memiliki probabilitas lebih dari 90% menurut IPCC.
Lapisan gas rumah kaca pada atmosfer bumi berfungsi untuk menghangatkan bumi. Tanpa lapisan gas ini, bumi akan 33 °C lebih dingin, kehidupan tidak dapat terjadi. Pemanasan global terjadi akibat penebalan lapisan gas rumah kaca pada atmosfer bumi. Sebagian besar gas rumah kaca yang terakumulasi secara berlebih berupa karbon dioksida yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak dan batu bara).

Dalam kondisi "normal", sinar matahari yang menembus atmosfer bumi sebagian akan diserap bumi untuk menghangatkannya, sebagian akan memantul kembali keluar angkasa. Emisi gas rumah kaca yang berlebih menyebabkan sinar matahari yang semestinya memantul terperangkap di bawah lapisan gas yang menebal, bumi pun kian memanas.
Laju rata-rata pemanasan bumi sekitar 0.2 °C per dekade. Dalam skenario terburuknya, bumi akan memanas 2.4-6.4 °C selepas abad-21. Data satelit menunjukkan bahwa sejak dekade 1990-an, ketinggian permukaan laut telah meningkat 3.3 mm per tahun. Penelitian terakhir memperkirakan bahwa ketinggian permukaan laut akan mencapai 1.4 m pada 2100.
Jakarta Banjir? Mengingat 40 % dari wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut, dalam 100 tahun, Jakarta tidak hanya akan mengalami banjir. Jika laju pemanasan global tidak berubah, Jakarta mungkin salah satu kota yang akan lenyap dari permukaan bumi. Sedikitnya 25 % wilayah Jakarta atau sekira 160,37 km2 akan tenggelam pada 2050. Indonesia diperkirakan akan kehilangan sekitar 2,000 pulau pada 2030.

Merubah gaya hidup manusia saat ini menjadi suatu pilihan antara hidup dan mati. Selain kerja keras antar para ilmuwan untuk mencari solusi terbaik untuk mengatasi kondisi pelik ini, perubahan praktis tidak dapat terjadi tanpa kerja sama dan komitmen para pemimpin dunia, terutama mereka yang memegang andil besar dalam kontribusi emisi berlebih gas rumah kaca di muka bumi. Saat ini, negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia adalah Amerika Serikat. Hingga saat ini, dunia masih menunggu komitmen para pemimpin di negara adikuasa ini untuk bersikap.
Menurut mantan wakil presiden Al Gore, kebanyakan warga Amerika Serikat yang berkuasa saat ini, yang semestinya mampu bertindak, menganggap pastinya kontribusi manusia pada fenomena pemanasan global kurang layak untuk diperlakukan sebagai kebenaran karena bertentangan dengan agenda mereka yang berkepentingan: suatu "Inconvenient Truth".
Dalam film dokumenter yang berjudul sama, Al Gore membuat analogi katak dalam cangkir air yang sedang memanas. Seperti sang katak, manusia merasa cukup nyaman dan hanya duduk diam walau suhu air terasa memanas. Ketika air mencapai titik didih, katak tidak dapat bergerak lagi, menunggu detik-detik menuju ajalnya atau adanya tangan yang dapat mengangkatnya keluar. Apa yang akan dilakukan manusia jika air di dalam cangkirnya mencapai titik didih?
Sumber Pustaka:
1. http://www.nature.com/news/infocus/climatechange.html
2. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/09/0101.htm
3. http://www.stopglobalwarming.org/sgw_feature.asp?id=11
4. http://www.wwf.or.id/attachments/pdf/Q&AClimate.pdf
**Ilustrasi didapatkan dari: http://www.ucsusa.org/assets/images/global_warming/ghouse_effect.jpg dan http://www.suarapublik.org/images/Pict2_1.jpg
Panel International Perubahan Iklim (IPCC), yang terdiri dari sekitar 600 ilmuwan dunia dan 113 wakil pemimpin dunia, menerbitkan pernyataan bahwa bumi akan terus memanas jika manusia tidak cepat merubah gaya hidupnya. Perusakan lingkungan hidup, gaya hidup konsumtif yang mengakibatkan emisi gas rumah kaca berlebih, adalah sebab dari "pemanasan global" ini. Bahwa pemanasan global bersumber pada ulah manusia memiliki probabilitas lebih dari 90% menurut IPCC.
Lapisan gas rumah kaca pada atmosfer bumi berfungsi untuk menghangatkan bumi. Tanpa lapisan gas ini, bumi akan 33 °C lebih dingin, kehidupan tidak dapat terjadi. Pemanasan global terjadi akibat penebalan lapisan gas rumah kaca pada atmosfer bumi. Sebagian besar gas rumah kaca yang terakumulasi secara berlebih berupa karbon dioksida yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak dan batu bara).

Dalam kondisi "normal", sinar matahari yang menembus atmosfer bumi sebagian akan diserap bumi untuk menghangatkannya, sebagian akan memantul kembali keluar angkasa. Emisi gas rumah kaca yang berlebih menyebabkan sinar matahari yang semestinya memantul terperangkap di bawah lapisan gas yang menebal, bumi pun kian memanas.
Laju rata-rata pemanasan bumi sekitar 0.2 °C per dekade. Dalam skenario terburuknya, bumi akan memanas 2.4-6.4 °C selepas abad-21. Data satelit menunjukkan bahwa sejak dekade 1990-an, ketinggian permukaan laut telah meningkat 3.3 mm per tahun. Penelitian terakhir memperkirakan bahwa ketinggian permukaan laut akan mencapai 1.4 m pada 2100.
Jakarta Banjir? Mengingat 40 % dari wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut, dalam 100 tahun, Jakarta tidak hanya akan mengalami banjir. Jika laju pemanasan global tidak berubah, Jakarta mungkin salah satu kota yang akan lenyap dari permukaan bumi. Sedikitnya 25 % wilayah Jakarta atau sekira 160,37 km2 akan tenggelam pada 2050. Indonesia diperkirakan akan kehilangan sekitar 2,000 pulau pada 2030.

Merubah gaya hidup manusia saat ini menjadi suatu pilihan antara hidup dan mati. Selain kerja keras antar para ilmuwan untuk mencari solusi terbaik untuk mengatasi kondisi pelik ini, perubahan praktis tidak dapat terjadi tanpa kerja sama dan komitmen para pemimpin dunia, terutama mereka yang memegang andil besar dalam kontribusi emisi berlebih gas rumah kaca di muka bumi. Saat ini, negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia adalah Amerika Serikat. Hingga saat ini, dunia masih menunggu komitmen para pemimpin di negara adikuasa ini untuk bersikap.
Menurut mantan wakil presiden Al Gore, kebanyakan warga Amerika Serikat yang berkuasa saat ini, yang semestinya mampu bertindak, menganggap pastinya kontribusi manusia pada fenomena pemanasan global kurang layak untuk diperlakukan sebagai kebenaran karena bertentangan dengan agenda mereka yang berkepentingan: suatu "Inconvenient Truth".
Dalam film dokumenter yang berjudul sama, Al Gore membuat analogi katak dalam cangkir air yang sedang memanas. Seperti sang katak, manusia merasa cukup nyaman dan hanya duduk diam walau suhu air terasa memanas. Ketika air mencapai titik didih, katak tidak dapat bergerak lagi, menunggu detik-detik menuju ajalnya atau adanya tangan yang dapat mengangkatnya keluar. Apa yang akan dilakukan manusia jika air di dalam cangkirnya mencapai titik didih?
Sumber Pustaka:
1. http://www.nature.com/news/infocus/climatechange.html
2. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/022007/09/0101.htm
3. http://www.stopglobalwarming.org/sgw_feature.asp?id=11
4. http://www.wwf.or.id/attachments/pdf/Q&AClimate.pdf
**Ilustrasi didapatkan dari: http://www.ucsusa.org/assets/images/global_warming/ghouse_effect.jpg dan http://www.suarapublik.org/images/Pict2_1.jpg
Wednesday, February 7, 2007
Amien Rais di Columbia
oleh Roby
Amien Rais sedang berada di Amerika dan barusan dia memberikan kuliah umum di kampus saya.
Kuliah umum ini diselenggarakan oleh sebuah pusat riset baru mengenai agama, demokrasi dan toleransi. Indonesia menjadi salah satu fokus kegiatannya bersama dengan negara islam lain. Di kesempatan ini Amien Rais berbicara mengenai pengalaman pribadinya terutama ketika menjadi ketua MPR. Dia dianggap berhasil meletakan fondasi demokrasi (tanpa embel-embel 'demokrasi terpimpin' atau 'demokrasi pancasila') di Indonesia.
Dia menganggap masalah ideologi dan politik di Indonesia sudah selesai: Pancasila sebagai dasar negara tidak bisa diubah. Menurut dia masalah utama sekarang adalah memberikan bukti kepada rakyat bahwa demokrasi membawa perbaikan taraf hidup terutama secara ekonomi.
Amien dikenal sangat kritis terhadap perusahaan asing di Indonesia. Dia memperjelas posisi dia bahwa dia tidak menginginkan nasionalisasi perusahaan asing dan tidak menolak globalisasi. Yang dia permasalahkan adalah operasional penambangan yang dikuasai 100% oleh perusahaan-perusahaan asing. Menurut dia seharusnya Indonesia menjadi partner dengan memiliki andil dalam operasi penambangan (bukan dalam bagi hasil saja).
Kata Amien "Hugo Chavez bagus, tapi berdasar standar Indonesia dia terlalu arogan".
Ketika sesi tanya-jawab, terlihat dua pandangan berbeda antara Amien dengan para penanya. Untuk Amien masalah Indonesia yang harus dikhawatirkan adalah ekonomi. Sedangkan kebanyakan peserta lebih peduli atau khawatir soal kemungkinan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Buat Amien, ideologi Pancasila sudah tidak mungkin dirubah. Aspirasi untuk penerapan syariat Islam selalu ada, tapi menurut dia, Indonesia tidak mungkin menjadi negara berdasar syariat Islam.
Amien memberikan dua cerita anekdot sebagai ilustrasi.
Pertama, ketika dia menjabat ketua MPR, dua pimpinan partai yang ingin merubah pasal 29 UUD menjadi (kira-kira): Indonesia berdasar syariat Islam yang harus dijalankan oleh muslim, datang ke kantornya. Mereka mengatakan bahwa usul mereka akan kalah di pemungutan suara MPR. Mereka meminta Amien untuk menyiapkan strategi untuk menyelamatkan muka mereka yaitu dengan meniadakan voting. Lalu Amien bertanya, jika memang anda tahu bahwa anda bakal kalah, kenapa anda selalu mengajukan ide tersebut. Kedua pemimpin partai tersebut mengatakan bahwa isu itu mereka lempar hanya untuk menyenangkan konstituen partai mereka. Mereka harus mengusung issu tersebut jika tidak ingin ditinggalkan pengikutnya.
Kedua, dia bercerita tentang seorang bupati yang dituntut oleh beberapa ulama di wilayahnya untuk menerapkan syariat Islam. Bupati ini lalu mengumpulkan para ulama tersebut dan memberikan dana bagi mereka untuk menyiapkan program penyiapan syariah Islam dalam hal administrasi kabupaten seperti peraturan pajak dan gaji pegawai. Setelah beberapa bulan para ulama ini kembali dengan tangan kosong karena mereka tak berhasil merumuskan program penerapan syariat Islam untuk administrasi tersebut.
Untuk kasus Aceh, Amien berharap suatu saat Aceh sadar bahwa eksperimen mereka dalam menerapkan syariat Islam secara jor-joran tidak akan membawa hasil positif.
Dari cerita diatas, Amien menyimpulkan bahwa menurut dia syariah Islam tidak akan pernah menjadi konstitusi Indonesia. Bagi saya orang Indonesia yang tinggal di Amerika, perbedaan ini menjadi semacam paradoks. Saya bisa mengerti kenapa orang di Amerika lebih peduli soal syariat Islam, dan pada saat yang sama, sebagai orang Indonesia saya juga mengerti bahwa ekonomi sehari-hari menjadi perhatian utama orang di Indonesia.
Amien juga menyinggung pekerjaan rumah yang belum selesai yaitu mengakhiri campur tangan militer di politik. Seorang peserta diskusi sangat terperangah ketika mengetahui bahwa militer Indonesia membiayai dirinya sendiri.
Isu mengenai perusahaan asing sebetulnya lebih menarik bagi saya, tapi karena saya masih memikirkannya maka saya tulis lain waktu saja.
Amien Rais sedang berada di Amerika dan barusan dia memberikan kuliah umum di kampus saya.
Kuliah umum ini diselenggarakan oleh sebuah pusat riset baru mengenai agama, demokrasi dan toleransi. Indonesia menjadi salah satu fokus kegiatannya bersama dengan negara islam lain. Di kesempatan ini Amien Rais berbicara mengenai pengalaman pribadinya terutama ketika menjadi ketua MPR. Dia dianggap berhasil meletakan fondasi demokrasi (tanpa embel-embel 'demokrasi terpimpin' atau 'demokrasi pancasila') di Indonesia.
Dia menganggap masalah ideologi dan politik di Indonesia sudah selesai: Pancasila sebagai dasar negara tidak bisa diubah. Menurut dia masalah utama sekarang adalah memberikan bukti kepada rakyat bahwa demokrasi membawa perbaikan taraf hidup terutama secara ekonomi.
Amien dikenal sangat kritis terhadap perusahaan asing di Indonesia. Dia memperjelas posisi dia bahwa dia tidak menginginkan nasionalisasi perusahaan asing dan tidak menolak globalisasi. Yang dia permasalahkan adalah operasional penambangan yang dikuasai 100% oleh perusahaan-perusahaan asing. Menurut dia seharusnya Indonesia menjadi partner dengan memiliki andil dalam operasi penambangan (bukan dalam bagi hasil saja).
Kata Amien "Hugo Chavez bagus, tapi berdasar standar Indonesia dia terlalu arogan".
Ketika sesi tanya-jawab, terlihat dua pandangan berbeda antara Amien dengan para penanya. Untuk Amien masalah Indonesia yang harus dikhawatirkan adalah ekonomi. Sedangkan kebanyakan peserta lebih peduli atau khawatir soal kemungkinan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Buat Amien, ideologi Pancasila sudah tidak mungkin dirubah. Aspirasi untuk penerapan syariat Islam selalu ada, tapi menurut dia, Indonesia tidak mungkin menjadi negara berdasar syariat Islam.
Amien memberikan dua cerita anekdot sebagai ilustrasi.
Pertama, ketika dia menjabat ketua MPR, dua pimpinan partai yang ingin merubah pasal 29 UUD menjadi (kira-kira): Indonesia berdasar syariat Islam yang harus dijalankan oleh muslim, datang ke kantornya. Mereka mengatakan bahwa usul mereka akan kalah di pemungutan suara MPR. Mereka meminta Amien untuk menyiapkan strategi untuk menyelamatkan muka mereka yaitu dengan meniadakan voting. Lalu Amien bertanya, jika memang anda tahu bahwa anda bakal kalah, kenapa anda selalu mengajukan ide tersebut. Kedua pemimpin partai tersebut mengatakan bahwa isu itu mereka lempar hanya untuk menyenangkan konstituen partai mereka. Mereka harus mengusung issu tersebut jika tidak ingin ditinggalkan pengikutnya.
Kedua, dia bercerita tentang seorang bupati yang dituntut oleh beberapa ulama di wilayahnya untuk menerapkan syariat Islam. Bupati ini lalu mengumpulkan para ulama tersebut dan memberikan dana bagi mereka untuk menyiapkan program penyiapan syariah Islam dalam hal administrasi kabupaten seperti peraturan pajak dan gaji pegawai. Setelah beberapa bulan para ulama ini kembali dengan tangan kosong karena mereka tak berhasil merumuskan program penerapan syariat Islam untuk administrasi tersebut.
Untuk kasus Aceh, Amien berharap suatu saat Aceh sadar bahwa eksperimen mereka dalam menerapkan syariat Islam secara jor-joran tidak akan membawa hasil positif.
Dari cerita diatas, Amien menyimpulkan bahwa menurut dia syariah Islam tidak akan pernah menjadi konstitusi Indonesia. Bagi saya orang Indonesia yang tinggal di Amerika, perbedaan ini menjadi semacam paradoks. Saya bisa mengerti kenapa orang di Amerika lebih peduli soal syariat Islam, dan pada saat yang sama, sebagai orang Indonesia saya juga mengerti bahwa ekonomi sehari-hari menjadi perhatian utama orang di Indonesia.
Amien juga menyinggung pekerjaan rumah yang belum selesai yaitu mengakhiri campur tangan militer di politik. Seorang peserta diskusi sangat terperangah ketika mengetahui bahwa militer Indonesia membiayai dirinya sendiri.
Isu mengenai perusahaan asing sebetulnya lebih menarik bagi saya, tapi karena saya masih memikirkannya maka saya tulis lain waktu saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)