Monday, May 21, 2007

The Indonesian Trip: Spiderman vs. Mertua Jahat Menantu Malang


oleh Tika

Untuk melalui waktu senggang di Bandung akhir-akhir ini, saya suka sekali menonton film dan TV. Ternyata bermanfaat banyak juga buat saya. Dengan menonton film hollywood terbaru "Spiderman III" di bioskop Blitzmegaplex Bandung, juga seri Hidayah di TV stasiun RCTI berjudul "Mertua Jahat Menantu Malang", saya dapati pemahaman baru mengenai perbedaan konsep baik vs. jahat ala Amerika (Spiderman III) vs Indonesia (Mertua Jahat Menantu Malang).

Berdasarkan pengamatan amat sederhana ini, saya dapati kesimpulan sbb:

Di Indonesia, manusia terbagi atas dua macam jenis, baik atau jahat, garisnya jelas. Orang jahat berlaku jahat karena dia jahat. Orang baik akan selalu berlaku baik karena dia baik. Orang baik bisa tergoda untuk berlaku jahat karena ada dorongan luar dari orang yang benar2 jahat. Orang jahat selalu sadar akan status kejahatannya tapi tidak mau berubah hingga akhirnya tertimpa musibah. Setelah musibah menimpa hanya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi: si jahat mati atau si jahat sadar dan berubah menjadi baik.

Di Amerika, manusia sama semua. Tiap manusia memiliki kemungkinan untuk berlaku baik atau jahat, garisnya tidak jelas. Dorongan untuk menjadi jahat atau baik berada dalam diri sendiri. Tiap orang bisa tergoda untuk menjadi jahat karena merasa kurang puas dengan apa yang dimiliki dalam dirinya. Orang jahat tidak pernah sadar akan status kejahatannya. Hanya setelah dihadapi dengan suatu pilihan mendesak yang menyangkut sesuatu yang sangat dicintai (misalnya, wanita, karir), baru mereka sadar dan akhirnya memilih untuk selanjutnya terus menjadi orang jahat atau tidak.

Yang menarik di sini adalah sumber sifat baik/jahat manusia Indonesia vs. Amerika. Di Indonesia, sumber ini selalu berasal dari luar diri manusia, baik godaan untuk menjadi jahat atau dorongan untuk berubah menjadi orang baik. Di amerika, sumber selalu berasal dari dalam diri manusia sendiri, bukan dari luar. Alhasil, di Indonesia, perubahan penting dalam diri manusia hanya dapat terjadi jika lingkungan berubah hingga akhirnya manusia menurut dan mau berubah demi kebaikan, sementara di Amerika, perubahan penting hanya dapat terjadi jika diri tiap-tiap manusia mau memilih untuk merubah lingkungannya.

Di Indonesia, manusia adalah konsumen perubahan, di Amerika, manusia adalah agen perubahan.

8 comments:

Anonymous said...

bravo, bisa menuliskan keribetan indonesia dg singkat dan jekas

Anonymous said...

dalam tradisi psikologi situasi dikenal teori bias atribusi. teori ini intinya mengatakan bahwa perilaku manusia cenderung ditafsirkan sebagai buah individu (dari dalam) semata, serta mengabaikan peran konteks dan situasi (dari luar). uniknya, teori ini lahir di amerika, yang menurut analisa tika justru bias pada situasi.

contoh populer akan bias individu di amerika adalah kasus abu ghraib, dimana penyebab kejadian langsung ditimpakan pada karakter oknum tentara (yang pemeriksaan mentalnya ternyata wajar saja), dan bukan pada kondisi kerja yang buruk, penjara yang tidak layak, dan suasana perang pada umumnya.

kebetulan ada kasus serupa minggu lalu di indonesia. 4 orang kelas 2 sma pl jakarta dikeluarkan karena dilaporkan telah memukul adik kelasnya. kebetulan saya adalah alumnus pl, dan mengerti bahwa ada budaya dan tradisi kekerasan dalam batas wajar di sekolah homogen tersebut -- yang selama puluhan tahun tidak berekses negatif. sekali lagi, ini contoh bias yang kurang mencermati kompleksitas situasi dalam memahami perilaku manusia.

Tika said...

tirta: "teori ini intinya mengatakan bahwa perilaku manusia cenderung ditafsirkan sebagai buah individu (dari dalam) semata, serta mengabaikan peran konteks dan situasi. uniknya, teori ini lahir di amerika, yang menurut analisa tika justru bias pada situasi."

saya agak bingung, saya berpikir di amerika individu/diri itu lebih penting dari situasi, di amerika manusia adalah agen perubahan? apa ini beda dengan teori yang di maksud?

Anonymous said...

sama, jadi bingung juga, hehehe ;-)

sepertinya saya salah tulis.

mungkin benar di amerika begitu, sesuai dengan nilai individualitas yang tinggi sekali. jika benar demikian, yang menjadi menarik adalah kasus pl yang terjadi di indonesia, atau kasus ipdn/stpdn sebelumnya. semua mengasumsikan bahwa kunci permasalahan terletak di individu -- satu aras pikir dengan yang terjadi di amerika.

Wen Guang said...

Perspektif yang bagus. Setiap kali nonton Hidayah, pasti kita suka menebak2 nanti si durhaka ini diapain yach? kena petir, bau, atau apa yach? Tidak ada option utk bertobat. Tapi Spiderman 3 memberikan satu massage bagus: "kita masih punya pilihan untuk bertobat."

Arya Gaduh said...

Tika:

Entah, apakah persepsi yang digambarkan di sini cermin pertentangan antara persepsi masyarakat Amerika vs. Indonesia, atau antara persepsi sekular vs. religius?

Atau bahkan sebenarnya lebih cerminan problem kreativitas sinema Indonesia yang tak mampu menciptakan karakter tiga dimensi ya?

Anonymous said...

hemmm, filsafat jawa terutama dulu diajarkan lewat pengajaran yg bersifat kolektif. watak dan perilaku diidealkan lewat karakter yg bersifat kelompok minded.

ada tulisan sederhana di http://papabonbon.wordpress.com/2007/02/15/tidak-ada-tempat-bagi-demokrasi-di-hati-penggemar-wayang/

mungkin bisa sedikit membantu.

Isman H. Suryaman said...

Menurutku sih itu hanyalah masalah selera mayoritas penonton di dua negara saja.

Nggak usah jauh-jauh, lima belas tahun lalu, Amerika menayangkan hal yang sama: jahat karena jahat. Baik karena baik. Dan tiap minggu, baik selalu menang, jahat akan kembali.

Ya, ini adalah ciri kartun Amerika sebelum mereka menyerah dengan tekanan mayoritas penonton (tentunya sebagian besar anak kecil) yang haus akan nilai-nilai animasi Jepang (anime).

Ironisnya, kartun Amerika itu dibuat atas dasar pemikiran orang dewasa yang berharap baik bagi anak-anak. Atau minimal tidak akan diprotes orangtua. (Sebagai contoh: tidak ada kematian, jahat-baik sangatlah jelas.)

Namun, ternyata penonton (anak-anak) merasa nilai-nilai itu aneh. Dan mereka menemukan selera yang lebih tepat pada anime, di mana tokoh jahat memiliki alasan untuk jahat. Dan tokoh baik tidaklah selalu jumawa, ia memiliki kelemahan manusiawi yang perlu ia tanggulangi jika ingin menyelamatkan hal-hal yang ia ingin lindungi.

Sebelum ke mana-mana, mungkin inti yang ingin saya sampaikan: kita nggak bisa mengambil kesimpulan pasti akan suatu masyarakat sekadar dari apa yang mereka tonton. Karena bisa jadi, suatu tontonan populer karena hanya itulah yang ada. Bukan karena memang itu yang paling merefleksikan nilai-nilai penontonnya.