Friday, June 15, 2007

Perjalanan ke Indonesia: Individu (tidak) penting

oleh Roby

Setelah lebih dari satu bulan berada di Indonesia, saya sudah mulai beradaptasi dan merasa nyaman tinggal di Bandung. Salah satu kegiatan yang saya nikmati adalah menonton TV lokal, dan membaca koran dan majalah. Menurut survei, sekitar 70% penduduk Indonesia menonton TV paling sedikit sekali setiap minggu. Jadi dengan banyak menonton TV lokal, sedikit banyak bisa mendapat gambaran kehidupan di Indonesia (meskipun tayangan TV didominasi kehidupan Jakarta, bukan Indonesia secara kesuluruhan).

Ada satu observasi menarik mengenai cara berpikir yang umum saya temui: perilaku negatif dari manusia dianggap berasal dari sebuah kategori. Misalnya, malas, tidak mengantri, suka gratisan, tidak jujur dianggap karakteristik "Bangsa Indonesia". Seksualitas dianggap sebagai "Budaya Barat" (tidak penting ketika baju kebaya tradisional menerawang dan cerita tradisional yang penuh seksualitas).

Yang saya permasalahkan disini adalah bukan benar tidaknya suatu karakterisasi. Tapi karakterisasi melalui kategori kolektif. Individu dianggap tidak penting. Wajar jika orang miskin mencuri, wajar jika orang Indonesia tidak mau mengantri, wajar jika orang Indonesia malas dan sebagainya. Individu hilang ditelan label atau kategori kolektif ("Bangsa Indonesia", "Budaya Indonesia", "Orang Jawa", "Orang Sunda"). Sebetulnya kategorisasi kolektif ini umum terjadi termasuk di Amerika; contoh paling nyata antipati pada setiap berjanggut dan memakai sorban di Amerika.

Disini ada perbedaan antara persepsi kita tentang perilaku orang. Kita sering menganggap perilaku orang disebabkan oleh kategori kolektif. Padahal ketika kita bertindak jarang dimotivasi oleh satu ide abstrak yang berasal dari kategori kolektif. Misal, karena saya orang Indonesia maka saya tak harus mengantri. Saya percaya orang cenderung pragmatis, mengambil keputusan berdasar situasi dan preferensi saat itu. Saya mengantri agar fair dan mengurangi kemungkinan konflik saat itu.

Yang berbuat baik atau buruk adalah individu, bukan kategori kolektif. Individu adalah agen kausalitas: individu yang menyebabkan sesuatu terjadi.

Titik berat pada individu ini bertentangan dengan semangat riset saya sendiri yang cenderung menafikan peran individu daripada struktur. Individu tidak bisa berbuat sekehendak hatinya, tetapi dibatasi oleh relasi yang ada antara dia dengan orang lain dan lingkungannya. Meskipun struktur ini sering pula memberikan peluang baru untuk bertindak, bukan hanya membatasi.

Dalam bahasa akademis, ilmu yang cocok untuk di Indonesia adalah ekonomi karena ia mementingkan individu; bukan sosiologi yang mementingkan struktur. Ini jika kita ingin melakukan perubahan (saya percaya bahwa kita berusaha ke kanan jika kita cenderung ke kiri dan sebaliknya; agar kita tetap di tengah).

Di Amerika saya sangat kritis terhadap ilmu ekonomi yang berlebihan menggunakan konsep insentif. Segalanya dijelaskan dengan insentif sehingga konsep insentif menjadi tautologi: terjadi karena ada insentif, dan ada insentif karena terjadi.

Di Indonesia saya cenderung menggunakan pola pikir ekonomi: individu lah yang bergerak merespons insentif.

Saya jadi ingat teman saya yang menyelesaikan doktor di bidang studi sains. Ia adalah pengkritik sains. Tapi ketika di Indonesia ia menjadi advokat sains karena di Indonesia sains tidak relevan dalam proses pengambilan keputusan. Jadi dia harus membangun sains dulu agar dia bisa melakukan pekerjaannya mengkritik sains setelah itu.

Mirip dengan saya, di Indonesia saya ingin para ekonom lebih menyebarluaskan konsep kebebasan individu. Setelah konsep itu diterima luas, maka baru saya bisa masuk memperlihatkan bahwa individu itu tidak terlalu bebas (tentu konstrain adalah konsep fundamental di ekonomi, tapi ekonom cenderung menganggapnya sebagai kotak hitam; dan tentu ada juga ekonom yang membongkar kotak itu meskipun kebanyakan lebih suka membiarkannya).

Tantangannya adalah, bagaimana menunjukkan bahwa individu tidak terlalu penting kepada masyarakat yang memang sudah percaya bahwa individu tak penting tanpa menjadi membosankan sehingga tidak selalu ditanggapi "oh itu sih udah jelas".

3 comments:

Yuti Ariani said...

Jadi teringat teori agent-based... tapi sekarang saya lebih banyak berkutat bagaimana aliansi dapat terjadi, jadi seseorang baru bisa membuat perubahan jika ia bisa memperluas jejaring aliansi.

(kayanya asyik kalau main ke SP ITB, kayanya saya bisa belajar banyak dari individu (tidak*tidak=iya) penting)

Anonymous said...

selama saya hidup di indonesia koq kayaknya indonesia itu jarang sekali terlihat bagus ya..gak tertiblah, gak jujurlah, selalu punya persepsi dangkal dlm hal tertentulah, suka menghakimi, banyak banget..tapi indonesia juga punya alam yang indah, rasa kepedulian yang sangat tinggi, dan juga ramah...tapi saat ini, image indonesia sedikit agak 'buram' karena pertengkaran di gd. MPR/DPR, ulah beberapa oknum di tempat wisata, pendidikan, pasar, kelurahan, dll..sampai - smpai indonesia yang terkenal dengan manusia berbudaya menjadi "manusia berbudaya?' ditambah lagi tayangan tv lokal yang mempertontonkan ttg cinta, harta, dendam, dll kenapa sech tidak ditayangkan hal - hal lain yang sederhana yang "indonesia +" kan banyak tuch dn juga simple tapi juga mengena..jadi orang2 bisa bilang i love indonsia dari hati terdalam...

Indriani Indree said...

duh, kenapa sih, rasional ala ekonomi harus identik dgn individual. padahal boss adam smith aja si ekonom klasik ndak bilang gitu lho ... :D