Wednesday, March 14, 2007

Pak Tino Sidin Berkata "Bagus"


oleh Tika

Beberapa minggu yang lalu, ibu, ayah dan sepupu saya datang ke Amerika mengunjungi kami. Selain bingkisan makanan kering dan satu kantong beras merah, mereka datang membawa setumpuk vcd film-film Indonesia. Kami tontoni film-film ini tiap malam semenjak kedatangan mereka.

Satu masalah film Indonesia menurut saya adalah efek dramatisasi yang berlebih. Saya rasakan ini paling banyak terjadi di film-film 'kelas atas' seperti karya Garin Nugroho dsb. Akibatnya film terasa sintetik dan 'dibuat-buat' atau tidak 'natural'.
Film terlihat bagus hanya sebatas fungsi dekoratif demi menyesuaikan diri kepada suatu definisi paten 'film yang bagus'.

Ya menurut saya memang ini masalah orang Indonesia. Bukti empiris yang bisa saya gunakan untuk mencapai kesimpulan ini hanya didasari atas pengalaman diri saya sendiri.

Jaman dahulu kala, saya pernah bercita-cita menjadi seorang seniman. Tugas pertama saya di satu kelas melukis semasa kuliah adalah membuat karya bebas diatas kanvas dengan menggunakan cat minyak. Di kepala saya langsung melayang-layang impian saya mengenai nenek moyang dan negara Indonesia tercinta. Saat itu memang saya sedang kuliah di Amerika dan sudah sangat rindu dengan tanah air. Bukankah masuk akal bahwa perasaan paling mendalam dalam diri saya harus merujuk kepada segala sesuatu berbau Indonesia? Bukankah suatu karya seni 'baik' terdefinisikan sebagai suatu ungkapan kejujuran isi hati ini?

Dengan semangat sang pelukis sejati, saya tumpahkan perasaan rindu ini ke atas kanvas. Rencana saya adalah untuk membuat suatu lukisan mosaic abstrak dengan menggunakan simbol-simbol ke-Indonesiaan seperti garuda, wayang, merah putih dsb. Lukisan sedang dalam proses penyelesaian, dosen lukis saya melihatnya dan langsung membahasnya di depan kelas. "Anak-anak, ini adalah contoh jenis lukisan yang tidak ingin anda buat. Lukisan 'bagus' secara teknis, tapi perhatikan bagaimana simbol-simbol ini disusun dengan sangat direncanakan hingga membuat lukisan tidak natural dan dibuat-buat. Ada baiknya pelukis ini menutup lukisan ini dengan cat putih dan mulai dari awal lagi."

Ya, hancur sudah semangat membara saya. Saya pun mengikuti saran sang dosen untuk menutup lukisan saya dan saya hadapi kanvas putih saya itu dengan perasaan terpukul. Setelah itu saya sadar bahwa salah satu kesulitan yang saya hadapi dalam membuat suatu karya seni adalah untuk membebaskan diri dari apa yang seharusnya saya rasakan dan mulai merasakan apa saja tanpa adanya suatu keharusan. Kesulitan seorang Indonesia menurut saya adalah untuk merasakan kejujuran isi hati karena sebagai orang Indonesia, kami terdidik untuk menutupinya dan menggantikannya dengan suatu definisi umum mengenai apa yang seharusnya dirasakan.

Tentu, saya tidak membandingkan diri saya dengan mereka yang sudah terdidik dan bergelut bertahun-tahun di bidang seni seperti Garin Nugroho dsb. Tapi saya bisa bayangkan betapa sulitnya seorang Indonesia membuat suatu karya seni jujur apa adanya sementara kultur Indonesia sudah memiliki hak paten isi hati seorang manusia Indonesia.

Seperti kata Pak Tino Sidin setiap sore pada acara belajar menggambarnya di TVRI , "bagus.. bagus ... ".

8 comments:

Merlyna said...

Wow! Tulisan bagus, sangat mewakili apa yang saya rasakan!
Tapi saya lihat2 banyak juga filem2 Asia yang menunjukkan tendensi yang sama. Tidak bisa bikin tentang "orang biasa", cuma bikin yang "tidak biasa" yang sebetulnya jarang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
p.s. I wonder why you always say what I wanted to say, in a better way, and a better grammar too!

Anonymous said...

Setuju!
tapi... gak kebayang perasaan Mbak Tika pas dosen bilang gitu :D

Tika said...

m lim:"p.s. I wonder why you always say what I wanted to say, in a better way, and a better grammar too!"

wah prof m lim, berbicara seperti mariana renata nih campur aduk..hehe.
terima kasih atas sanjungannya. memang saya memiliki keturunan indra ke-6 :).

Tika said...

m lim: "Tidak bisa bikin tentang "orang biasa", cuma bikin yang "tidak biasa" yang sebetulnya jarang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan."

"ceritalah apa yang anda ketahui" -- ini saran yang selalu di lontarkan di buku2 cerita yang berkisah mengenai metamorphosis seorang penulis. Masalahnya justru kesulitan terletak pada ketidak tahuan kita mengenai apa saja yang kita ketahui!

Tika said...

venny: "gak kebayang perasaan Mbak Tika pas dosen bilang gitu :D"

sebellllll... heheh.. tapi bagus saja krn berkat komentar sang dosen saya akhirnya membuat lukisan terbeken saya berjudul "kaca-kacaan yang ceritanya pecah". Saat ini lukisan bertenger dengan megahnya di gang rumah orang tua saya ;p.

Anonymous said...

Benang merah dari tulisan ini sepertinya adalah ajakan untuk menikmati film2 holiwud yang bermutu :))

Merlyna said...

tika: wah prof m lim, berbicara seperti mariana renata nih campur aduk..hehe.

itu Mariana Renata terinspirasi dari prof Lim, koq.... hahaha.

masgeger said...

hahahahahahaha

cukup menyadarkan dan menyentil diriku.
tapi kalo mau bikin karya yg jujur aku takut cuman akhirnya menjual marginalitas orang indonesia.

dan salah satu prinsipku adalah aku tidak mau menjual kemiskinan
hahahahahaha

setuju dan terimakasih
yak bagus...