Tuesday, March 13, 2007

Saya bisa bahasa inggris, saya cerdas, saya cinta damai ... bla bla bla

oleh Tika

Ya, akhirnya saya bisa mengerti mengapa banyak orang merasa terganggu dengan gaya selebritis Indonesia yang suka memakai bahasa inggris campur aduk dengan bahasa gaul Jakarta. Karena terlalu banyak pekerjaan hingga saya akhirnya tidak bekerja dan malah mem-browse YouTube, saya menemukan posting film pendek bintang Lux Mariana Renata berjudul "Match Maker" dan "Match Maker II". Saya harus menggunakan YouTube karena semenjak 7 tahun yang lalu, saya sudah tidak tinggal di Indonesia lagi.

Konon, berdasarkan film seri DTK, yang saya pernah tontoni sedikit ketika berkunjung ke Indonesia tahun lalu, Mariana Renata ini tergolong selebritis langka yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi (Saya akui, film DTK juga sedikit tapi lebih banyak lagi mengganggu saya).

Tapi kenapa ya saya merasa sangat terganggu dengan film Lux ini apalagi dengan sdr Mariana Renata ini? Dia cantik, saya tidak masalah, bahkan jika mampu saya ingin sekali berparas jelita sepertinya. Tapi kenapa ketika sdr. Mariana mulai berbicara campur aduk saya jadi kesal rasanya? Apalagi dengan menggunakan intonasi "was wes wos" nan-canggihnya-itu?
Saya juga kesal ketika:
1. Mariana menolak kantong plastik yang diawarkan pelayan toko atas alasan "save the planet" dan setelah itu pergi tersenyum dan menjadi sangat perhatian saat melewati seorang anak kecil.
2. Mariana masuk ke toko dan yang di shoot adalah sendal dan baju ala "hippie" super trendi.
3. Buku yang dipesan Mariana bertema sosiologi pop itu seharga Rp 120,000.
4. Buku itu ternyata karangan Jurnalis Malcolm Gladwell yang konon pernah mencuri ide Peneliti dan Prof. Sosiologi pembimbing riset suami saya (*perhatikan poin ini mungkin agak berlebih personal).
5. Mariana menggunakan laptop Mac.
6. Ternyata diakhir film, cowo ganteng, pintar dan pemilik toko buku import itu gay.

Jangan banyak salahkan sdr. Mariana, salahkan penulis script film ini. Ah, saya memang kurang kerjaan saja. Biarkan mereka nikmati laptop Mac mereka dan buku-buku ratusan ribu rupiah mereka sembari menikmati latte di cafe chic Jakarta dan berbicara campur aduk melalui hp trendi mereka, toh saya sendiri melakukannya!

Kecuali memiliki teman gay, yang sepertinya untuk Jakarta saat ini menjadi suatu atribut cukup chic, juga paras yang nan cantiknya sdr Mariana, semua indentitas yang dipaparkan dalam karakter Mariana saya suka lakukan lepas sadar saya, ya termasuk kadang menggunakan baju gaya hippie dan bicara campur aduk bahkan menggunakan laptop Mac -- walau dalam hal berbicara, saya rasa saya sudah cukup menahan diri untuk tidak melakukannya dengan cara berpikir sebelum berbahasa karena saya tahu saya bukan pembicara bahasa apapun yang baik.

Saya terganggu karena ternyata bagian dari individualitas diri saya ini dijadikan gaya pasang tempel manusia Jakarta. Di Jakarta, setidaknya warga kosmopolitan Jakarta, manusia bukanlah Individu, tapi suatu entitas pasang tempel yang berubah tergantung musim. Jika kita menghampiri berbagai mal di Jakarta di suatu musim dimana gaya trendi wanita masa itu adalah untuk berbusana dengan menggunakan tas berbulu, pastinya hampir semua wanita di mal Jakarta akan bepergian dengan tas berbulu ini (note referensi gaya hidup Jakarta ini yang tergolong cukup kuno). Memang hidup di dunia kosmopolitan Jakarta itu membuat hidup orang menjadi serba salah.


15 comments:

Anonymous said...

"Mariana Renata ini tergolong selebritis langka yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi"

Ah kata sapa mariana renata cerdas?? Itu kan cuma tipu2 marketing dari Lux supaya produk dia identik dengan wanita cerdas..dus, produk Lux banyak dibeli oleh perempuan indonesia

Anonymous said...

Yang bikin Matchmaker itu memang keterlaluan. Bisa memang film itu dibikin dengan pemikiran yang dangkal, atau sebaliknya: sebagai lelucon yang mentertawakan "diri sendiri".

Merlyna said...

Terimakasih sudah berbagi ttg Matchmaker. Menarik sekali fenomena yang dibahas Tika ini.
Ya, setelah berkeliaran di YouTube beberapa hari melihat-lihat program2 di TV/perfileman Indonesia, saya juga jadi bingung dan merasa terganggu dengan "gaya pasang tempel" yang diciptakan itu. Saya jadi penasaran, kalau pulang nanti saya mau lihat apa gaya seperti ini memasyarakat apa engga ya?

Anonymous said...

Saya rasa Matchmaker menunjukkan batas pengetahuan para pembuat filmnya, yang memang hanya mentok di dunia kelas menengas atas Jakarta.

Tika said...

binbinaa: "Ah kata sapa mariana renata cerdas?? "

kan saat ini juga sedang menjalani program S2 di University of New South Wales. Mariana memang peduli pendidikan :).

hmm.. target pemasaran sabun lux berarti utk kelas2 tertentu wanita kosmopolitan saja ya. Mana orang ndeso menganggap masuk akal film lux ini? Saya tertarik dengan promosi shampoo sunslik, ada sunsilk utk menghitamkan rambut, untuk mengembangkan rambut lempes, untuk rambut bewarna, untuk rambut dikerudung.. nah produk ini baru lebih pluralistik :).

Tika said...

m lim: "Saya jadi penasaran, kalau pulang nanti saya mau lihat apa gaya seperti ini memasyarakat apa engga ya?"

mau ada kunjungan balik dalam waktu dekat? pengamatan awam saya sewaktu berkunjung tahun lalu, memang sptnya cukup memasyarkat di populasi kosmopolitan muda-mudi jakarta.

Tika said...

? : "atau sebaliknya: sebagai lelucon yang mentertawakan "diri sendiri"."

sepertinya tidak.

Tika said...

tika: "hmm.. target pemasaran sabun lux berarti utk kelas2 tertentu wanita kosmopolitan saja ya. Mana orang ndeso menganggap masuk akal film lux ini?"

ralat .. justru mungkin orang2 ndeso akan lebih tertarik dgn iklan2 spt ini yg menunjukkan gaya hidup kosmopolitan yang 'asing' bagi mereka. Dgn menggunakan sabun lux, mereka mungkin bisa merasa sedikit gaya hidup spt ini walau tidak bisa benar melakukannya.

Jika benar targetnya wanita muda kosmopolitan jakarta, yaa.. kebanyakan dari mereka kan lebih tertarik menggunakan produk impor, jika ya mrk memiliki kemampuan ekonomi bak karakter mariana renata ini? Iklan tidak akan mempan buat orang2 spt mereka.

Tika said...

Anonymous: "Saya rasa Matchmaker menunjukkan batas pengetahuan para pembuat filmnya, yang memang hanya mentok di dunia kelas menengas atas Jakarta."

Menurut saya masalah utama adalah pembuat film tidak bisa memaparkan karakter dan situasi dalam bentuk 'nyata' dan 'jujur'. Akibatnya yang kita rasakan adalah komposisi pasang tempel yang tidak banyak arti. Untuk membuat ini tidak perlu pengetahuan luas, cukup penghayatan dari kehidupan nyata yang benar dialami secara jujur, mau itu hanya 'dunia kelas menengah atas jakarta' sekalipun. Memang kesulitan adalah untuk membuat suatu metafor fiksi untuk menceritakan pengalaman jujur dunia kita sendiri.

Anonymous said...

Tika: "kan saat ini juga sedang menjalani program S2 di University of New South Wales. Mariana memang peduli pendidikan :)."

Idih,emang ngambil S2 indikasi orang cerdas? Seleb indonesia banyak kok yang kuliah (kebanyakan di FISIP UI,karena gampang & nyante) supaya gak dicap sbg seleb bloon, minimal punya gelar akademik. Liat aja Dessy Ratnasari punya S2 bidang psikologi,tapi apakah relevan dg karir dia yang cuma maen sinetron? Liat jg Dian Satro yg katanya lg sibuk skripsi (kagak tahu jurusannya apa) tp aktingnya gitu2 ajah.

Tika said...

binbinaa: "Liat aja Dessy Ratnasari punya S2 bidang psikologi,tapi apakah relevan dg karir dia yang cuma maen sinetron?"

wah kalo ini sangat relevan. bayangkan dengan kita mengetahui psikologi karakter yang sedang kita mainkan, pendalaman untuk memainkan karakter secara lebih realistis bisa saja terjadi! Ini bisa mengangkat status sinetron lho. Di amerika sinetron paling top terkenal dengan adanya aktor yang sangat lihai mendalami karakter transgender. Karakter transgender ini menjadi revolusi di sinetron amerika saat ini!

ah.. memang di indonesia gelar itu indikasi kepintaran ko, ini terlepas apakah orang yang bersangkutan 'benar' pintar atau tidak. Kultur Indonesia masih belum bisa menyaring kompleksitas ini.

oh ya, utk Dian sastro, saya pikir dia aktor yang cukup baik. Film pendek lux versi Dian sastro menurut saya sangat mengganggu tapi setidaknya Dian bisa memainkan karakternya dengan jujur, walau memang karakter yang dimainkannya juga mengganggu! Ini juga terjadi di DTK. Sayang Dian tidak bisa bergerak lebih luas lagi untuk mengasah kemampuannya ini.

Anonymous said...

Ah, bu Tika ini ada2 saja. Emangnya punya gelar S2 psikologi artinya dia bisa membantuk mendalami karakter peran? Ya itu sih sama saja dengan berasumsi bahwa anak S1 Teknik Mesin otomatis akan bisa mereparasi mobil mogok, anak S1 Elektro otomatis akan bisa merepatasi TV. Asumsi yang salah,bukan?

Alfred Pacino tidak pernah punya gelar psikologi, tapi pendalaman karakter dia akan michael corleone sungguh luar biasa sampai2 dia butuh waktu bertahun-tahun berkonsultasi dengan psikiater/psikolgi setelah dia menyelesaikan trilogi itu (supaya karakter corleone tdk terbawa ke kehidupan keseharian dia)

Elkana Catur said...

kalau kata orang mah namanya juga usaha....
promotion is about manipulating information to other people. makes people think that the real truth is what show on the tV....(bukan sok inggris nih.... kadang ekspresinya lebih enak aja)
pathetic ya.????

salam kenal.. mbak dan mas....

Anonymous said...

Mariana memang cerdas secara intelektual (IQ-nya mendekati 150!)(tp dlm soal akting dia masih kurang. Setiap org yg dekat dgnnya trmsk sy pasti tahu itu, dia mengambil S2 jurusan bisnis international di UNSW Australia dlm usia relatif muda (Desi meraihnya d usia 30-an) (asalnya Mar berencana k Oxford tp katanya karena faktor org tua yg sdh sepuh dia tdk jd kul d sana),Dia pernah digelari "super smart" oleh salah satu majalah asal luar negeri, dan memang dia smart sekali, hanya sj dia suka nervous d depan umum. Tipuan marketing? asal sekali, sebelum dikontrak jg Mar memang sdh cerdas, selebritis tercerdas yg pernah sy kenal

Tika said...

"Anonymous: Mariana memang cerdas secara intelektual (IQ-nya mendekati 150!)(tp dlm soal akting dia masih kurang."

Masalahnya, memang kalo tidak cerdas kenapa? :D. Kecerdasan 'sebenarnya' mariana renata tidak relevan bagi saya. Tapi ya tak apa jika ini bagian dari gaya hidup yang ingin dipromosikan dalam label sabun lux. Hmm.. tapi saya sih tertarik membeli sabun lux jika pemakaian sabun menjamin saya akan bisa jadi secantik mariana renata dkk. .. selain membuat kulit saya halus, wangi dan tidak kering2.