Monday, February 19, 2007

Kartini dan mahasiswa salon



oleh Roby

Saya terhentak membaca tulisan kawan ini
...Kita sudah terlalu lama dipaksakan versi yang itu-itu saja. Akibatnya ketimbang menempatkan Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita yang sewajarnya, bahkan ironis (walau pikiran-pikirannya jauh ke depan, dia tetap bertindak layaknya wanita di jamannya), bangsa Indonesia sudah terlanjut mengkultuskan sosok ini


Ketika saya masih memikirkan kenapa merasa terhentak, kawan lain menuliskan ini:

...merasa sebagai mahasiswa ’salon’ tidak berguna.

Lagi-lagi saya merasa sedikit terhentak.

Kenapa?

Ada dua hal.

Pertama, karena Kartini adalah pahlawan bagi tipe orang seperti saya: orang yang bekerja dalam bidang ide. Sebetulnya untuk Kartini, sosok dia lebih besar daripada pejuang ide. Dia juga membangun sekolah dan ingat dia melakukan semua ini di usia muda awal 20an (umur segitu, saya lebih banyak bengong daripada memikirkan hal serius). Kartini bukan hanya pejuang perempuan, tapi dia adalah pejuang intelektual.

Saya merasa sebagai penerus Kartini: percaya bahwa individualisme (bukan egoisme) adalah hal yang kurang di Indonesia. Saya juga setuju dengan Kartini bahwa pendidikan adalah jalur pemupukan individualisme ini. Pendapat saya juga sama dengan Kartini bahwa terlalu sulit untuk menyebarkan ide ini ke lapisan sosial bawah sehingga pendidikannya lebih terfokus untuk para elit bangsawan; karena juga mereka lah yang banyak menentukan opini luas. Perdebatan intelektual lebih sering terjadi di level elit.

Kedua, karena saya termasuk mahasiswa salon. Saya suka berbicara mengenai ide abstrak dan teoritis. Saya tidak terampil dengan tangan; jika ada yang rusak di rumah, istri saya yang membetulkannya, juga dia yang merakit lemari atau kursi. Waktu mahasiswa, saya ikut2an berdemo reformasi dan lari tunggang langgang ketika ada tentara mengarahkan senapannya ke arah saya (sejak itu saya merasa ilmu sosial lebih penting daripada fisika). Saya tidak memperjuangkan orang miskin atau tertindas - meskipun tentu sebagai manusia saya memiliki empati untuk itu.

Intinya adalah saya ingin mengatakan bahwa mereka yang bergerak di bidang teori pun perlu tempat. Jangan disepelekan karena dianggap tidak berjuang secara riil (seperti Kartini yang dibandingkan dengan Cut Nya Dien atau Dewi Sartika) atau disebut dengan ungkapan sinis seperti 'mahasiswa salon'.

Bukan berarti saya terlalu menganggap serius diri saya. Saya tidak merasa intelektualisme adalah sesuatu yang spesial. Jika bisa memilih antara intelek dan wajah tampan, saya akan memilih wajah tampan. Karena intelek biasanya hanya membuat orang kesal karena dianggap nyeleneh. Sedangkan wajah tampan mampu membuat orang senang; tidak ada kepuasan yang melebih dari membuat orang lain senang.

Lagipula, saya bukan seorang intelek yang spesial. Saya tidak pernah menjadi juara kelas atau meraih prestasi/penghargaan dalam bidang apapun (oh, pernah juara 3 perlombaan band antar kelas se SMA). Sewaktu SMP saya rangking 30an dan semasa SMA rangking belasan dan saya lulus dari ITB dengan IPK dibawah 3. Saya melamar menjadi dosen ITB dan ditolak. Maka itu saya pergi ke New York, dan saya beruntung Columbia mau menerima saya.

Intinya, ada kekuatan yang lebih besar dari manusia. Jimi Hendrix mengatakan dia tidak berusaha menulis musik genius, dia hanya merasa harus mengeluarkan bunyi-bunyian yang ada di kepalanya. Setiap orang mengikuti bunyi drum yang dia dengar. Tapi ingat juga kata Marx: Men make their own history, but they do not make it as they please. Jadi fakta bahwa Kartini tetap menikahi Joyodiningrat bukanlah ekspresi kelemahan. Manusia juga manusia.

9 comments:

Anonymous said...

wah bung Roby...tulisan itu berlanjut rupanya...he..he.

Well, 'mahasiswa salon' yang dimaksud adalah dalam konteks mahasiswa ilmu sosial politik, yang diarahkan untuk berhadapan dengan fenomena sosial. Ketika buku yang dibacanya di kelas tidak konsisten dengan apa yang terjadi, dan ketika seorang mahasiswa ilmu sosial politik tidak mendapat 'clue' bagaimana cara menghadapi fenomena sosial dari buku-buku dan kuliah-kuliah di kelasnya, perasaan menjadi 'mahasiswa salon' muncul.

Oh iya, tulisan itu renungan pribadi, tidak berlaku umum...:-)

Selebihnya, saya setuju dengan keseluruhan isi posting Bung ini...

salam hangat
pjv

Yuti Ariani said...

Wah, seperti membaca refleksi diri. Alasan yang lumayan mirip, kenapa dari matematika saya beralih ke studi pembangunan.

Puspini said...

Bravo Roby!
but still--gak bisa dong mendikotomi-kan 'wajah tampan' dan 'being an intellectual'--- these are not a trade-off u know...;-)

Roby said...

pv: ya memang pengalaman membuat konteks. pengalaman saya sbg mahasiswa fisika teori yang disebut mhs salon :D

ariani: alasan apa? :D

puspini: saya pikir itu trade-off. karena orang cakep cenderung menyadarinya dan dia memilih karir sesuai dengan itu dan akibatnya dosis pendidikannya cenderung lebih sedikit dibanding mereka yang sekolah terus :)

sekali lagi, disini intelektual != pintar. kalau pintar, memang bukan trade-off; siapa saja bisa pintar. intelektualisme perlu banyak membaca dan berinteraksi dengan intelektual lain.

Puspini said...

Roby, to me that is not an acceptable argument ...apakah spare time seseorang untuk membaca/menulis/meneruskan pendidikan akan tergantung dia cakep atau tidak? Even if beautiful people , as you say,realize that they are beautiful, I think it is too naive and over-generalizing to say that they will naturally go for a career that will optimize/explore their looks...

Besides---is this some kind of a self-degrading feeling for academics? Don't you feel you are beautiful? This is like smart teenage kids, who always tend to think "oh it's ok if I'm not beautiful, at least I've got my brains/I'm smart..."

Ujang said...

Puspa, Roby kan hanya mancing. The correct response should've been: "kenapa harus memilih, buktinya elu cakep dan pintar".. ;-)

Puspini said...

Ujang,kalau ada jawaban yang 'nyusahin,' 'berbelit2' dan 'memancing diskusi lebih lanjut'....buat apa jawaban singkat dan sederhana?? (although that is probably closes to reality ;-)

dhank Ari said...

asik membaca perspektif seperti ini. nambah kaya pola pikir. btw, rame juga tuh diskusi sama non puspa... Apa kabar juga, Puspini?

Puspini said...

eh Dhank Ari--apa kabarnya juga? ??Lama gak ketemu, eh...tnyata bersinggungan di blog orang (numpang yah, Tika n Roby!)